Manga buatan Hajime Isayama ini sukses membuat saya kagum dan takjub luar biasa, mengapa? Selain adegan tempurnya yang bikin saya teriak anjay , pun manga ini berisikan filsafat yang jarang mangaka lainnya taruh pada karya-nya. Entah kang Isayama ini sengaja menabur filsafat di manganya atau ini hanya persepsi saya atas manga tersebut.
Untuk kalian yang hanya menikmati versi animenya sungguh sayang sekali menurut saya, karna banyaknya bagian yang tidak dicantumkan di sana. Manga ini dibuat sebulan sekali oleh Isayama, jadi hanya ada 12 chapter dalam setahunnya. Mungkin sebelum menggambar, kang Isayama ini baca-baca bukunya Nietzsche dulu kali yak.
Manga yang kalian nikmati versi animasinya ini jika dibedah secara filosofis ternyata sungguh banyak sekali kandungan filsafat di dalamnya, dari mulai alegori gua Plato, Nihilisme, Eksistensialisme, Konsep hidup Scopenhauer, Absurdisme, Teori Konflik, hingga Humanisme radikal. Sekali lagi, ini hanya perspepsi fenomenologis saya atas manga ini.
Saat pertama kali saya membaca manga ini, saya langsung teringat pada drama dalam novel Sampar karya Albert Camus yang bercerita tentang sebuah kota yang diserang wabah pes. Dalam drama tiga babak ini, manusia di dalam kota tersebut menghadapi sebuah masalah eksistensial dimana mereka tenggelam dalam sebuah faktisitas.
Faktisitas, dalam konsepsi filsafat Martin Heidegger--seorang filsuf Prancis-- adalah terlemparnya manusia atas fakta-fakta yang tidak pernah mereka kehendaki. Tiba-tiba saja manusia harus hidup dalam kondisi dan fakta tersebut. Dari kondisi dan fakta yang menimpa mereka, manusia dituntut untuk menjalani hidup darinya. Karena manusia ini bebas untuk memilih, maka manusia dikutuk untuk menjadi bebas.
Manusia dikutuk menjadi bebas adalah kutipan milik Jean Paul Sartre yang merupakan dialektika dari konsepsi filsafat milik Martin Heidegger. Maksud dari dikutuk menjadi bebas adalah karna manusia adalah kasus yang tidak biasa. Manusia, beda dengan yang lainnya, manusia adalah Das Sein yakni satu-satunya makhluk yang bisa meng-ada. Manusia bisa membuat pilihan atas dirinya, dengan kata lain, bebas.
Manusia hidup bebas membentuk takdirnya yang artinya eksistensialisme manusia mendahului esensialisme, atau pilihanlah yang menentukan takdir kita. Namun, segala pilihan dan kebebasan manusia untuk eksis atau meng-ada diikuti oleh konsekuensi dan tanggung jawab yang mesti dipenuhi manusia. Dikarenakan adanya tanggung jawab tersebut, manusia jadi takut untuk melakukan sesuatu sesuka hatinya karna konsekuensi mengikuti apapun yang mereka lakukan.
Untuk terus menjadi bebas pun, manusia mesti mendorong dirinya untuk pantang atas berbagai macam konsekuensi yang akan menimpanya. Tetapi hanya segelintir orang yang menyadari ketidakbebasannya hidup di dunia. Nah, manga ini berbicara persoalan-persoalan yang seperti ini.
Gimana? Ngerti ndak? Ngerti dong hwehwehwe.
Kota Spanyol dalam novel tersebut kira kira sama seperti pulau paradise dalam manga ini. Bedanya adalah, yang menyerang mereka adalah raksasa. Kota Spanyol ataupun pulau Paradise, kedua tempat itu sama-sama menggambarkan dunia tempat kita tinggal. Manusia di dalam dinding tidak pernah tahu alasan mengapa mereka tinggal di dalam dinding. Dan dalam manga ini, ada berbagai macam cara kontekstualisasi yang digambarkan pada karakter di manga tersebut.
Tokoh Diego dalam novel tersebut kira-kira mirip seperti Eren dalam Attack On Titan. Saya pikir Eren adalah tokoh eksistensialis yang menyadari dan menuntut kebebasannya kepada dunia terlepas terjebaknya mereka dalam dinding yang dikelilingi titan. Bebas berarti otonomi dan otentik, yang artinya segala kesadarannya adalah mutlak miliknya sendiri. Sampai akhir cerita, Eren tidak pernah berubah dari dirinya sejak ia lahir.