Lihat ke Halaman Asli

Pendidikan sebagai "Gerak Kontekstualisasi" yang dinamis

Diperbarui: 15 September 2023   21:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Farhan Mustafid Dok: Pribadi 

Pada masa kini kita barangkali dapat membaca terobosan tersebut sebagai ekspresi dari keyakinan bahwa dominasi "teks yang menjanjikan pengetahuan "dari model konvensional sekolah-sekolah formal perlu di subtitusi dengan semakin kuatnya "konteks yang melahirkan kebijaksanaan"dari model sekolah alternatif. 

Dalam arti tertentu, terobosan Romo Mangun mengenai model pendidikan alternatif itu merupakan "gerak kontekstualisasi" pada pendidikan sebagai "gerak kontekstualisasi", formasi manusia sebagai makhluk relasional memperoleh ruang yang luas di arena pendidikan sebagai gerak kontekstualisasi itu, manusia muda tidak hanya berkegiatan untuk learning what dan learning  how - yang berorientasi untuk menguasai materi atau skill tertentu demi "mempersiapkan diri untuk memasuki dunia". 

Di situ terdapat asumsi bahwa sekolah adalah semacam "dunia tertentu" yang terpisah dari " dunia yang sesungguhnya ". Namun, manusia muda juga menempuh learning when dan learning where yang berorientasi untuk menguasai diri tengah situasi dan kondisi di depan matanya demi "semakin berpengalaman di dalam dunia ". Di sini terdapat asumsi bahwa sekolah berada dalam kesatuan dengan realitas yang lebih luas.

Pendidikan sebagai "gerak kontekstualisasi" di satu sisi mungkin dipahami dalam pengertian bahwa para pelaku pendidikan mengenal "adanya konteks tertentu" dan kurang lebih sudah menguasai. Hingga, proses pendidikan ditempuh dalam desain yang serupa "proses sosialisasi" bagi generasi yang belum mengenal konteks tersebut, persoalannya, di tengah perkembangan serba baru pada masa kini, generasi yang lebih muda lah yang justru dipandang lebih mengenal konteks kontemporer yang sedang berlangsung, di sisi lain, hanya dapat dipahami pula dalam pengertian bahwa baik pembelajar mudah maupun pendeknya sama-sama belum sepenuhnya mengenal konteks kontemporer secara akurat. Maka, kontekstualisasi di sini berupa proses pembelajaran bersama di tengah konteks dunia yang dilewati.

Pada pengertian yang terakhir ini apa yang kita bahas mengenai pendidikan sebagai gerak kontekstualisasi bertumpu.

Berkenaan dengan itu, secara garis besar, kehidupan komunitas manusia seluas dunia pada masa kini dengan aneka klaim kemajuan yang dicapai melalui terobosan-terobosan ilmu pengetahuan dan teknologi, semenjak revolusi industri 1.0 hingga 4.0 telah menghadirkan perubahan-perubahan pada berbagai level, yang dalam sejumlah segi sulit dipahami oleh komunitas manusia itu sendiri atau menciptakan "keterpisahan mental". Terkait dengan situasi ini, dalam dunia bisnis dikenal istilah VUCA sebagai kependekan dari volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity

Volatility merupakan dinamika situasi yang mudah berubah dengan sangat cepat. Uncertainty merupakan kondisi dengan tingkat predictabilitas yang rendah terhadap apa-apa saja yang terjadi di lapangan kehidupan. Complexity merupakan berbagai kerumitan yang muncul dan berkembang dalam situasi-situasi baru. Ambiguity merupakan keadaan berbaurnya aneka hal dalam satu aja hingga tidak mudah dikenali orangentasinya dan dinilai secara tepat. (Oliver Mack et al., 2016)

Dunia hidup dengan karakter VUCA tersebut menyediakan konteks hidup dinamis yang sulit dipegang dan berpotensi menimbulkan krisis secara radikal menyangkut "cara manusia berada" (way of Being) di dunia dan bagaimana dirinya merumuskan makna. Krisis itu diyakini tidak lagi berada dalam lingkup lingkup terbatas, melainkan berada dalam konstelasi keterhubungan dan interdependensi yang rumit seluas dunia. Jika lembaga-lembaga pendidikan adalah arena dan wahana kebudayaan manusia, maka praktik-praktik tindakan pembelajaran yang diselenggarakan lembaga-lembaga pendidikan perlu berurusan dengan bagaimana cara manusia berada di tengah konteks hidupnya.

C.A. Van peursen dalam buku strategi kebudayaan (1988) menguraikan tiga tahap sejarah kebudayaan manusia, yang masing-masing menggambarkan way of being manusia di dunia. Pertama, tahap mistis, yaitu ketika manusia mengalami dirinya terkepung kekuatan-kekuatan alam. Kedua, tahap ontologis, ketika manusia mengambil jarak dari alam dan menyusun pemahamannya akan alam. Ketiga, tahap fungsional, ketika manusia mencari relasi-relasi yang tepat beserta pilihan tindakan antara dirinya dan alam.

Pemetaan tiga tahap itu di masa kini perlu dibaca dengan menempatkan ketiga-tiganya sebagai unsur dari satu kesatuan pengalaman manusia. Ringkasnya, pada masa kini manusia terkepung oleh kondisi-kondisi di luar dirinya, tetapi memiliki potensi untuk berjarak dari kondisi-kondisi itu dan dengan daya ciptanya membangkitkan kebaruan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline