Lihat ke Halaman Asli

Bukan Maksudku Mau Berbagi Nasib, Nasib adalah Kesunyian Masing-masing

Diperbarui: 26 Agustus 2023   15:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Input sumber gambar:Doc Pribadi Farhan Mustafid 

Bukan maksudku mau berbagi nasib, nasib adalah kesunyian masing-masingyah, nasib adalah kesunyian  masing-masing. apalagi untuk seorang pejalan. tapi tak memungkinkan tertutupnya pintu untuk pulang, bukan?

Itulah pilihan Chairil. Chairil kembali melakukan rutinitas di luar menyair --membaca, berdiskusi, menulis, dan menerjemahkan-- yang barangkali bisa dikatakan 'negatif'.  Ia datang ke tempat pelacuran, minum alkohol di jalanan, mengunjungi rumah teman-teman sesama seniman, berjalan tak tahu arah tujuan, serta menyendiri dari keramaian.


Ia lebih memilih 'menderita' sebagaimana adanya. Ia rela menanggung risiko dari keputusannya itu. Aku meminjam ungkapan Arif  Budiman dalam buku Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan,  "Ini artinya kesunyian. Ini artinya kesepian. Ini artinya penderitaan."

Pasrah dengan Nasib

Apakah Chairil bahagia dengan cara hidup yang seperti ini? Entah! Aku tidak tahu. Kebahagiaan itu relatif. Seseorang mempunyai letak kebahagiaannya masing-masing. Misalkan aku itu Chairil, aku sendiri akan sulit memaknai kebahagiaan. Aku tidak bisa bertanya seperti Goenawan Mohamad dalam pusi "Dingin Tak Tercatat":

Tuhan, kenapa kita bisa
bahagia?  

Barangkali inilah nasib hidup Chairil Anwar. Tuhan telah menakdirkannya. Ia tampaknya menerima semua ini dengan lapang dada. Sebagaimana dia pernah menulis:

Bukan maksudku mau berbagi nasib
Nasib adalah kesunyian masing-masing

Kendati demikian, dengan jalan hidup 'yang tidak jelas', aku menduga bahwa semua itu ia lakukan untuk menca tahu makna kehidupan dengan menghidupkan puisi. Kecintaannya terhadap seni dan sastra barangkali membuatnya menjadi seperti ini, agar bisa menyelami dan mendalami kondisi sosial yang tercermin dalam karyanya.

Pandora itu aku tidak tahu apa maksudnya membuat fragmen-fragmen ringkas masa silam berkelebat sepanjang haro sepanjang siang. Pada salah satu retrospeksi itu, muncul begitu saja sebiji simpulan yang mau tak mau mesti kutelan: jika ada banyak berkah yang tidak kusyukuri, salah satunya pasti adalah kau! Tentunya.

Validitas, tentu saja, tidak berkurang artinya hanya karena ia datang terlambat. Tapi, manusia itu ragu, masihkah ada artinya mengucapkan syukur saat berkah itu sudah menjauh?

Jangan kau berburuk sangka dulu ihwal kata-kata "berkah itu sudah menjauh". Itu bukanlah satu doa yang mengharapkan keburukan. Sama sekali tidak. Kata-kata itu lebih berarti sebagai satu pemahaman sederhana tentang bagaimana nasib bergulir dan bergerak. Pada akhirnya, memang, ada sehimpun jarak yang kian melebar dengan kecepatan yang --sebenarnya---lambat, tapi pasti tak bisa kita tolak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline