Lihat ke Halaman Asli

Farhan Ferdiansyah

Mahasiswa Ekonomi Pembangunan UNNES

Keunggulan Komparatif dalam Perdagangan Global: Relevansi dan Tantangannya di Era Globalisasi

Diperbarui: 12 Desember 2024   19:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Latar Belakang dan Pengenalan Teori

Teori ekonomi muncul dan berkembang seiring dengan perkembangan sosial budaya dan teknologi manusia. Pemikiran ekonomi tercetus melalui modifikasi ataupun kritik terhadap teori ekonomi sebelumnya. Teori ekonomi terus mengalami perubahan agar tetap relevan di masa yang akan datang. Maka dari itu, teori ekonomi tidak lepas dari kelemahan yang kemudian akan dikritik dan dimodifikasi menjadi teori yang lebih relevan oleh peneliti di masa depan. Salah satu ekonom era klasik yang mencetuskan teori ekonomi adalah David Ricardo. Teori keunggulan komparatif merupakan salah satu teori yang lahir dari pemikiran David Ricardo. Teori ini diperkenalkan Ricardo melalui bukunya yang berjudul On the Principles of Political Economy and Taxation pada tahun 1817. Teori ini lahir sebagai kritik dari teori keunggulan absolut yang dicetuskan oleh Adam Smith melalui bukunya yang berjudul An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations pada tahun 1776. Adam Smith beranggapan bahwa Perdagangan Internasional dapat terjadi karena negara memiliki keunggulan absolut dibanding negara lain pada komoditas tertentu. Keunggulan tersebut dilihat dari volume produksi barang dan jasa jika dibandingkan dengan volume yang di produksi di negara lain. Suatu negara memperoleh keuntungan dari perdagangan karena adanya spesialisasi produksi pada komoditas yang memiliki keunggulan absolut. Teori ini juga tidak memperhitungkan adanya hambatan perdagangan seperti biaya pengiriman ataupun tarif. Teori ini juga beranggapan bahwa perdagangan yang menguntungkan haruslah memiliki keunggulan absolut yang berbeda dari masing-masing negara. Oleh karena kelemahan tersebut, David Ricardo kemudian mengembangkan pemikiran baru yang dikenal sebagai teori Keunggulan Komparatif. Menurut teori ini, suatu negara masih dapat melakukan perdagangan yang menguntungkan meskipun tidak memiliki keunggulan absolut. Teori ini mengkalkukasikan biaya relatif yang dibutuhkan untuk memproduksi suatu barang. Teori ini memiliki asumsi yang harus terpenuhi, seperti Produksi yang hanya ada dua barang dan negara yang terlibat, Pasar persaingan sempurna, Perdagangan bebas, mobilitas tenaga kerja sempurna di dalam negeri, namun kedua negara tidak memiliki mobilitas tenaga kerja, biaya produksi konstan, berlakunya teori nilai tenaga kerja, tidak ada biaya transportasi dan tidak ada perubahan teknologi.

Kritik Teori

Berlakunya asumsi-asumsi tersebut membuat teori keunggulan komparatif sulit untuk diterapkan pada perdagangan yang sesungguhnya. Terlebih pada era globalisasi yang membuat suatu negara melakukan perdagangan tidak hanya didasarkan pada keunggulan komparatif saja, melainkan ada faktor lain yang menjadi latar belakang. Asumsi pada teori ini terlihat tidak realistis dan tidak relevan pada kondisi perdagangan yang sebenarnya. Teori ini mengasumsikan pasar persaingan sempurna dan tidak mengkalkulasikan hambatan perdagangan dan mobilitas faktor produksi antar negara. Pada praktiknya, pasar persaingan sempurna jarang terjadi dan suatu negara banyak yang menerapkan tarif ataupun kuota terhadap beberapa komoditas impor yang menjadikan asumsi perdagangan bebas tidak relevan di era sekarang. Negara berkembang cenderung menerapkan tarif yang lebih tinggi dibandingkan negara maju. Misalnya, tarif di negara-negara eropa yang tergabung di European Economic Area (EEA) menerapkan tarif sebesar 1,5% sedangkan tarif rata-rata untuk negara berpendapatan rendah adalah sebesar 9,79% (Berdasarkan data Bank Dunia tahun 2017). Keadaan tersebut membuat penerapan teori keunggulan komparatif menjadi bias karena negara di dunia menerapkan kebijakan impor yang berbeda dan tidak ada negara yang sepenuhnya melakukan perdagangan bebas tanpa campur tangan dari pemerintah sama sekali. Teori ini juga memiliki asumsi untuk mengabaikan  perubahan teknologi, padahal pada praktiknya teknologi semakin terus berkembang terutama pada negara maju. Perbedaan teknologi antar negara dapat membuat negara berpendapatan rendah memiliki ketergantungan untuk impor barang jadi ke negara berpendapatan tinggi. Mayoritas negara berkembang mengandalkan komoditas primer seperti pertanian untuk dijadikan komoditas ekspor, sedangkan negara maju cenderung mengekspor barang jadi ke negara berkembang. Dalam hal ini, negara berkembang akan mengalami stagnansi sementara negara maju akan terus berkembang karena mengandalkan teknologi untuk mengejar efisiensi yang lebih tinggi. Teori ini juga tidak mengkalkulasikan bahwa negara berkembang tetap dapat mengembangkan teknologi baru jika mendapatkan investasi di bidang pendidikan, teknologi maupun infrastruktur. Negara yang hanya memiliki fokus untuk mengembangkan komoditas yang memiliki keunggulan komparatif tidak akan mendapatkan peluang untuk meningkatkan komoditas lain untuk mendorong difersifikasi ekonomi. Salah satu negara yang berhasil dalam melakukan perubahan ekonomi adalah Korea Selatan. Pada tahun 1960-an negara ini berfokus pada ekspor barang mentah dengan teknologi tradisional, namun dengan investasi di bidang riset, teknologi dan pendidikan, saat ini ekonomi Korsel lebih mengedepankan ekspor barang berteknologi tinggi seperti semikonduktor dan elektronik. Teori ini memiliki asumsi bahwa faktor produksi tidak mengalami mobilitas antar negara. Pada era globalisasi saat ini, tenaga kerja dan modal dapat dengan mudah untuk melakukan mobilisasi ke negara lain. Selain itu, pekerjaan yang bisa dilakukan secara daring juga sudah mulai banyak dilakukan. Mobilitas tenaga kerja ini dapat menguntungkan bagi negara maju, namun negara berkembang dapat mengalami Brain Drain karena banyak SDM yang berkualitas memilih untuk berkerja di negara maju. Asumsi yang membuat teori ini semakin tidak relevan adalah biaya produksi bersifat konstan. Kondisi tersebut termasuk sulit untuk dicapai, hampir seluruh perekonomian di dunia ini mengalami biaya produksi yang fluktuatif pada sektor-sektor produksinya. Hal tersebut sering terjadi terutama pada negara yang perekonomiannya masih berkembang.

Pengembangan Teori Keunggulan Komparatif di Era Globalisasi

Pemikiran ekonomi terus mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Pemkirian tokoh ekonomi klasik seperti David Ricardo yang menjadi salah satu landasan dasar sistem kapitalisme masih terus dikembangkan oleh peneliti berikutnya. Teori keunggulan kompetitif yang dikemukakan oleh Michael E. Porter dalam bukunya yang berjudul Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance yang diterbitkan tahun 1985, menjadi penyempurnaan dari teori keunggulan komparatif dan Hecksher-ohlin. Keunggulan kompetitif lebih menekankan bagaimana caranya agar perusahaan dapat bersaing dengan mengandalkan inovasi dan diferensiasi produk atau menawarkan layanan yang lebih baik dibanding pesaingnya. Di lain sisi, keunggulan komparatif lebih memfokuskan pada dua atau lebih negara dapat menjalankan perdagangan internasional jika salah satunya memiliki keunggulan komparatif yang diukur dari biaya peluangnya (Opportunity cost). Di era globalisasi seperti saat ini, perdagangan antarnegara tidak hanya melibatkan komoditas yang dikelola oleh perusahaan milik negara saja, namun perusahaan swasta juga cukup banyak dalam berkontribusi pada perdagangan internasional. Teori keunggulan kompetitif dianggap lebih relevan untuk masa sekarang karena juga mempertimbangkan inovasi dan diferensiasi produk bagi perusahaan swasta yang berada di pasar tidak sempurna seperti oligopoli ataupun monopolistik. Salah satu contoh yang mencerminkan relevansi teori ini adalah munculnya teknologi baru seperti mobil listrik yang mulai digemari. Tesla menjadi perusahaan mobil listrik. Berdasarkan data tahun 2022, Penjualan Tesla model 3 dan Model Y mencapai lebih dari 1,7 juta unit di seluruh dunia. Namun, pada tahun yang sama perusahaan mobil listrik asal China BYD, berhasil menjual sebanyak 1 juta unit lebih banyak dibandingkan Tesla. Pada tahun 2023, pangsa pasar BYD menduduki peringkat kedua di pasar mobil listrik dunia yaitu sebesar 17,1% dan hanya kalah 2,8% dari pesaingnya Tesla yang memiliki pangsa pasar sebesar 19,9%. Para ekonom memprediksi bahwa pada tahun 2024 pangsa pasar BYD akan mengalahkan Tesla.

Kesimpulan

Kasus diatas membuktikan bahwa pada saat ini, perusahaan harus bisa untuk melakukan inovasi dan efesiensi produksi sehingga perusahaan tersebut dapat menawarkan harga yang lebih kompetitif dibandingkan dengan pesaingnya. Teori Keunggulan Komparatif memiliki banyak asumsi yang tidak realistis untuk masa sekarang, menurut saya Teori Keunggulan Komparatif dapat menjadi acuan baru dalam menilai suatu perdagangan internasional terutama pada perusahaan swasta. Teori Keunggulan kompetitif dapat menjadi acuan untuk memunculkan strategi bisnis perusahaan ataupun negara dalam bersaing di pasar global.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline