Lihat ke Halaman Asli

Farhan Fakhriza Tsani

Seorang Pelajar

Setelah Jokowi Sukses Membangun BPJS Kesehatan, Prabowo Punya Kesempatan Merintis BPJS Pendidikan

Diperbarui: 13 Mei 2024   07:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.template.net/editable/82847/graduation-illustration

Di antara tiga calon pasangan yang berkompetisi pada Pilpres 2024, paslon Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menjadi salah satu paslon yang paling sering menggaungkan ide "keberlanjutan". Tingkat approval rating Presiden Jokowi menjelang masa berakhirnya pemerintahan beliau menunjukkan angka yang tinggi sehingga gagasan "melanjutkan program Jokowi" dinilai akan menguntungkan secara elektoral. Dan hal ini terbukti benar. Sebanyak 58% rakyat Indonesia menghendaki kesuksesan pemerintahan Joko Widodo dilanjutkan pada pemerintahan berikutnya. Prabowo Subianto telah ditetapkan sebagai presiden terpilih pada tanggal 24 April 2024 kemarin. Dengan membawa gagasan "keberlanjutan" ini, Prabowo dapat melanjutkan kesuksesan program perlindungan sosial di masa pemerintahan Jokowi dan meningkatkan levelnya pada permasalahan yang baru-baru ini hangat diperbincangkan: biaya pendidikan.

Menggratiskan biaya kuliah selalu dikatakan terlalu membebani anggaran negara. Hal tersebut masuk akal mengingat tingginya biaya pendidkan tinggi. Selain itu, penyelenggaraan sekolah sampai hari ini masih belum ideal baik dari sisi infrastruktur maupun SDM nya sehingga akan lebih bijak jika anggaran pendidikan lebih dahulu dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan sekolah. Meski begitu bukan berarti negara tidak dapat bertindak. BPJS Kesehatan selama 10 tahun terakhir telah membuktikan bahwa masyarakat Indonesia mampu bergotong royong dalam memenuhi kebutuhan satu sama lain tanpa terlalu banyak membebani APBN. Dapatkah mekanisme yang sama dilakukan untuk meringankan biaya kuliah?

Sebelum membahas lebih dalam, ada baiknya kita sedikit mengulas sejarah dan konsep asuransi modern, serta bagaimana peran negara dalam menciptakan perlindungan sosial. Konsep asuransi modern tidak pernah dikenal oleh sebagian besar sejarah peradaban manusia. Sejak memasuki era pertanian, manusia mulai membangun struktur sosial. Ikatan kesukuan ini memungkinkan adanya transaksi saling menolong antar anggota suku yang biasanya saling mengenal. Namun gagasan untuk "menolong" orang asing tak dikenal, yang tinggal entah di mana, tidak pernah ada dalam peradaban manapun. Kita lebih terbiasa menolong mereka yang kita lihat langsung, menerima terima kasihnya langsung, dan mendapat pertolongan balasan secara langsung saat kita membutuhkannya.

Meskipun asuransi adalah produk modern, semangatnya sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Dalam masyarakat pedesaan, kita mengenal konsep gotong royong. Dalam budaya gotong royong, setiap warga desa harus membantu warga lain yang mengalami kemalangan. Ketika seseorang sakit, tetangganya membantu merawat, memberikan obat, atau keperluan lainnya yang dibutuhkan. Ketika seseorang kehilangan rumah akibat bencana, seluruh warga berbondong-bondong membantu membangun rumah baru. Warga yang kaya menyumbang uang, yang tidak punya uang menyumbang tenaga, yang tidak punya tenaga memberikan tempat tinggal sementara atau bantuan pangan. Semua begitu kompak membantu karena mereka memahami peraturan tidak tertulis bahwa kelak mereka tidak akan dibantu saat mengalami kesulitan jika tidak membantu kesulitan orang lain.

Memasuki era industri, masyarakat mulai berpindah dari desa ke perkotaan. Ikatan sosial tradisional mulai memudar dan masyarakat individualis mulai terbentuk. Masyarakat kota yang tidak terikat oleh adat dan suku tidak lagi memiliki pelindung saat mereka terkena musibah. Saat mereka sakit, tidak ada sepupu jauh yang rela merawat. Saat rumah mereka kebakaran, tidak ada keluarga besar yang mau gotong royong membangun rumah baru. Budaya tolong menolong kesukuan ini tidak lagi menjadi fasilitas bagi masyarakat perkotaan. Sejak saat itu kita mulai mengenal bentuk perlindungan baru dan lahirlah konsep asuransi (insurance).

Asuransi konvensional lahir sebagai produk jasa yang menjual jaminan risiko tertentu kepada pembelinya. Perusahaan asuransi akan menghitung ukuran risiko dan menetapkan jumlah premi tertentu sebagai ganti atas jaminan perlindungan. Asuransi konvensional cenderung meraup keuntungan besar. Hal ini karena jumlah premi yang dibayarkan jauh lebih besar daripada risiko yang benar-benar terjadi. Kondisi ini tidak menjadi masalah di tengah masyarakat industri yang sudah mapan. Namun di tengah masyarakat yang masih mayoritas agraris seperti Indonesia, hal ini menimbulkan skeptisisme. Kenapa keringat warga miskin yang setiap hari mencangkul di sawah harus diperas untuk memperkaya orang-orang yang sudah kaya?

Di sini kehadiran negara diperlukan untuk menutup celah antara kebutuhan atas perlindungan sosial dengan komersialisasi yang dijalankan oleh swasta. Untuk itu Pemerintah Indonesia membentuk BPJS Kesehatan di tahun 2014. Institusi ini bertugas menjamin layanan kesehatan bagi setiap warga di "desa" bernama Indonesia ini yang berpenduduk 275 juta jiwa. Selama hampir 10 tahun masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, BPJS Kesehatan telah mengalami peningkatan baik dari kuantitas maupun kualitas pelayanannya. Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang telah dijalankan selama 10 tahun terakhir ini telah dapat dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat kota dan desa di seluruh Indonesia. Tidak berlebihan untuk menyebut Program JKN ini sebagai karya masterpiece Pemerintahan Joko Widodo.

Menjelang transisi pemerintahan dari Presiden Joko Widodo kepada Presiden Prabowo Subianto, jagat maya beberapa kali diwarnai oleh keluh kesah tentang mahalnya biaya uang kuliah tunggal (UKT) dan terbatasnya akses beasiswa terutama bagi warga kelas menengah. Untuk membangun masyarakat industri yang mapan, pendidikan menjadi sama pentingnya dengan kesehatan. Dalam masyarakat agraris, warga dituntut untuk sehat agar bisa pergi ke ladang. Dalam masyarakat industri, warga harus sehat dan kompeten untuk bisa bekerja di bidang pekerjaan yang dinamis dan bervariasi. Dan untuk itu, jika kita berniat menjadi negara maju, kesuksesan kita membangun program jaminan kesehatan harus dilanjutkan dengan membangun program jaminan pendidikan.

Gagasan utama dari jaminan pendidikan sama seperti jaminan kesehatan, yaitu setiap warga yang ingin mengenyam pendidikan tidak terhambat oleh kemampuan finansial. Dalam asuransi pendidikan komersial, nasabah praktis hanya menabung dan mendapatkan manfaat sejumlah yang ditabung dan imbal hasil yang tidak seberapa. Produk asuransi pendidikan konvensional tidak dapat menjangkau kelas menengah ke bawah karena besarnya biaya iuran. Sementara jaminan pendidikan yang disponsori negara dapat di-back up oleh dana APBN, seperti yang selama ini dilakukan pada program JKN. Masyarakat hanya perlu membayar sejumlah kecil uang untuk dapat dijamin berkuliah gratis di jurusan manapun dan kampus manapun di seluruh Indonesia.

Dalam program JKN, peserta yang sedikit mengklaim biaya pengobatan akan secara tidak langsung membantu peserta yang memerlukan biaya besar. Dalam jaminan pendidikan pun, peserta yang memerlukan kuliah dengan biaya mahal akan dibantu secara tidak langsung oleh mereka yang biaya kuliahnya murah, sehingga APBN tidak akan menanggung beban yang terlalu berat jika terjadi defisit. Dan walaupun APBN harus menanggung defisit yang besar, pemerintah tidak seharusnya melihat hal itu sebagai beban. Sama seperti infrastruktur, SDM yang berkualitas akan meningkatkan produktivitas nasional, yang pada akhirnya akan memberikan imbalan kepada negara melalui pajak. Anggaran pendidikan yang pada tahun 2024 sebesar Rp660,8 triliun seharusnya dapat dialokasikan sebagiannya untuk menutup defisit tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline