Lihat ke Halaman Asli

Farhan Fakhriza Tsani

Seorang Pelajar

Konservatisme Barat dan Ramalan Samuel Huntington tentang Masa Depan Politik Dunia

Diperbarui: 9 Desember 2019   06:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kampanye Donald Trump dalam Pemilu Presiden AS tahun 2016. Sumber: wbur.com

Ilmu pengetahuan cenderung membuktikan bahwa segala sesuatu memiliki batas. Bahkan alam semesta yang disebut "tak terbatas" sekalipun, mulai diajukan banyak teori oleh para ilmuwan tentang apa yang membatasinya. Jadi, adakah sesuatu yang tak terbatas itu? Adakah ketidakterbatasan itu?

Lalu, apa yang membatasi ketidakterbatasan?

Pertanyaan itu menuntut logika untuk berpikir dengan cara yang sama ketika kita dihadapkan pada pertanyaan paradox of omnipotence, "Dapatkah Tuhan, dengan kemahakuasaannya, menciptakan batu yang amat berat hingga Dia tidak bisa mengangkatnya?"

Sama seperti paradox of omnipotence yang menggoyahkan iman orang-orang yang mempercayai eksistensi Tuhan, gagasan tentang batasan atas ketidakterbatasan menggoyahkan iman para liberal atas keyakinan tentang kebebasan absolut. Liberalisme, yang berarti ide tentang kebebasan, dan erat kaitannya dengan hak asasi manusia, telah mewarnai sejarah panjang umat manusia.

Perjuangan atas hak asasi manusia telah berlangsung sepanjang sejarah umat manusia itu sendiri. Ia berporses sangat panjang dan berkelanjutan, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan.  Di abad ketujuh, Nabi Muhammad telah meletakkan dasar bagi sikap antirasisme dalam pidato terkhirnya, "Tidak ada superioritas bagi bangsa Arab atas bangsa non-Arab, dan tidak ada superioritas bagi bangsa non-Arab atas bangsa Arab, selain dinilai dari perilakunya."

Di abad yang sama, Nabi Muhammad menuliskan konstitusi pertama yang memuat perjanjian antara pemimpin dengan rakyatnya. Piagam Madinah, tercatat dalam sejarah sebagai konstitusi tertulis pertama.

Di Eropa, batu loncatan hak asasi manusia berawal dari Magna Charta di tahun 1215. Dalam perjanjian itu, Raja John, raja dari Monarki Inggris, menyepakati beberapa poin pembatasan kekuasaan raja dan mendorong kerajaan agar menghormati hak-hak rakyatnya. Perjanjian ini dipandang sebagai tonggak awal sejarah penegakan hak asasi manusia di Dunia Barat.

Sejarah hak asasi manusia kemudian berlanjut ketika pada tahun 1776, koloni di sebuah "benua baru" mendeklarasikan kemerdekaannya dan menamai diri mereka "United States of America". Konstitusi mereka dan bentuk negara "republik" menjadi hal yang menginspirasi bangsa-bangsa lain di kemudian hari. Republik atau "Res Publica", yang secara sederhana berarti bentuk negara berorientasi kepada rakyat, menginspirasi para pemikir dan politikus di berbagai negara.

Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, 13 tahun kemudian, menginspirasi terjadinya Revolusi Prancis. Tepat pada 14 Juli 1789, revolusi meletus ditandai dengan penyerbuan Istana Bastille oleh para revolusioner. Pada bulan Desember 1792, Republik Prancis berdiri menggantikan kerajaan monarki absolut yang telah berkuasa selama berabad-abad.

Revolusi ini melahirkan semangat kebebasan dan persaudaraan. Semboyan revolusinya; "liberte, egalite, fraternite" yang berarti "kebebasan, persamaan, persaudaraan", tersebar serta memberi dampak politis dan sosiologis bagi masyarakat Eropa dan dunia secara umum. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline