"Mau kuliah di mana?"
Sejak menginjak bangku SMA, pertanyaan itu mulai sering dilontarkan padaku. Zaman sekarang, kuliah memang menjadi satu hal yang wajib bagi mereka yang mendambakan masa depan yang cerah. Meskipun pada kenyataannya pendidikan formal tidak menjamin kesejahteraan hidup seseorang di masa depan, namun kuliah sudah menjadi jalan yang paling lazim ditempuh sekaligus paling mudah agar seseorang bisa meraih kesuksesan. Aku pun berpikir begitu. Tapi aku sama sekali tak punya ide harus kuliah di mana. Aku sama sekali tak tahu. Maka setiap kali pertanyaan semacam itu terlontar, aku hanya bisa menjawab pendek, "Belum tahu."
Seiring berjalannya masa SMA, aku mulai mencari informasi tentang dunia kuliah. Aku mencoba googling di internet, bertanya ke sana ke mari, mencari tahu jurusan apa yang cocok denganku dan kampus mana yang mempunyai kualifikasi yang baik. Tidak bisa dimungkiri, sudut pandang yang sempit tentang dunia perkuliahan sekaligus doktrin orang-orang di lingkungan sekitar membuat sebagian besar dari murid SMA cenderung berpikir bahwa kesuksesan dan ke-kece-an hanya bisa didapat ketika mereka masuk ke dalam universitas-universitas negeri, dengan jurusan yang high class seperti kedokteran dan teknik. Entah bagaimana awalnya doktrin ini bisa tertanam hingga membuat para murid kehilangan jati diri. Akibatnya, mereka tidak pernah mencoba menelusuri apa sebenarnya yang mereka sukai.
Dan aku salah satu yang termakan doktrin tersebut.
Menginjak kelas 12, aku meyakinkan diri untuk berkuliah di jurusan teknik sipil di salah satu perguruan tinggi ternama. Waktu itu aku bahkan belum banyak tahu tentang apa itu teknik sipil. Bermodal gagasan bahwa menjadi manusia pembangun bangsa---dalam arti yang benar-benar harfiah--- adalah sesuatu yang luar biasa dan testimoni orang-orang di sekitar bahwa jurusan tersebut sangat kece dan menjanjikan masa depan, aku membulatkan tekad.
Suatu saat, orang tuaku mengobrol denganku. Ibuku bercerita bahwa sepupuku akan mengikuti USM PKN STAN. Ia bertanya apakah aku juga tertarik untuk daftar, karena dari cerita sepupuku itu, lulusan PKN STAN dijamin pekerjaannya.
Aku menggeleng. Menolak dengan alasan tidak tertarik dengan perguruan tinggi kedinasan. Satu-satunya yang menjadi ambisiku adalah teknik sipil, tak ada yang lain.
Suatu pagi, teman sekelasku, Aziz, membawa sebuah buku latihan soal dan mengerjakan soal-soal itu di kelas. Karena penasaran, aku mendekatinya dan bertanya,
"Buku apa, Ziz?"
Ia mengangkat cover-nya, "Latihan USM PKN STAN," jawabnya.
Aku duduk di sampingnya. "Lu mau masuk PKN STAN?" tanyaku. Aku jadi teringat percakapan dengan orang tuaku tempo hari.