Lihat ke Halaman Asli

Farhan Fakhriza Tsani

Seorang Pelajar

Bumi Manusia dan Tetralogi Pulau Buru, Benarkah Menyebarkan Paham Komunisme?

Diperbarui: 4 Agustus 2019   23:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer yang terdiri dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Sumber: inibaru.id

Dunia sastra Indonesia dapat dibilang lebih tua daripada usia Negara Indonesia itu sendiri. Sastra modern di Indonesia mulai muncul di awal abad ke-20. Para penulis pada zaman itu dikenal sebagai Angkatan Balai Pustaka. Nama tersebut diambil dari nama percetakan buku pada waktu itu yang bernama Balai Poestaka. Percetakan inilah yang menaungi karya-karya pada masa sebelum kemerdekaan. Di antara karya yang eksis sampai sekarang adalah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya Hamka. Bahkan novel tersebut telah diangkat menjadi film pada tahun 2015.

Dari sekian banyak karya yang memperkaya koleksi sastra Indonesia, Bumi Manusia menjadi karya yang dapat dikatakan fenomenal. Di awal penerbitannya pada tahun 1980, novel ini langsung masuk best-seller.

Tak lama berselang, naskah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa di antaranya Belanda, Malaysia, dan China. Novel ini sempat dilarang oleh Jaksa Agung pada tahun 1981 karena dianggap menyebarkan paham komunisme.

Di balik segala kontroversinya, semua penikmat sastra kiranya bersepakat bahwa Bumi Manusia dan sekuelnya merupakan karya sastra yang hebat. Atau kalau saya pribadi boleh berpendapat: brilian.

Tetralogi Pulau Buru merupakan empat rangkaian novel yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer atau akrab dipanggil Pram. Empat novel tersebut berjudul Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988).

Tetralogi tersebut mengisahkan seorang pemuda bernama Minke mencari jati dirinya sebagai manusia bebas. Novel pertamanya sebagian besar bercerita tentang hubungan Minke dengan seorang gadis peranakan Belanda bernama Annelies Mellema.

Sosok Minke digambarkan sebagai seorang philogynik atau pemuja wanita dan memiliki kepribadian yang suka memberontak. Menjelang kelulusannya dari HBS (setingkat SMA pada zaman kolonial), Minke menolak menjadi seorang calon bupati meneruskan ayahnya. Kepada ibunya dia berkata, "Aku hanya ingin jadi orang bebas bu. Tidak diperintah, juga tidak memerintah." Dari sini naluri egalitarianisme tokoh utama dapat tergambarkan.

Sejak awal, Minke digambarkan sebagai orang yang menjunjung kesamaan derajat manusia. Revolusi Prancis sangat dikaguminya hingga dalam banyak pergumulan batin selalu menjadi pedomannya. Ide kesamaan derajat semacam ini adalah ide yang sangat radikal pada zaman itu.

Tetralogi ini mengambil latar waktu akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Pada periode tersebut, kekuasaan kolonial Belanda masih sangat kuat mencengkram Indonesia.

Meski demikian, kelompok liberal juga sedang tumbuh subur menyuarakan Politik Etis atau politik balas budi. Suara tersebut terwujudkan dengan berdirinya sekolah-sekolah yang mendidik pribumi. Meski begitu, gagasan kesetaraan antara pribumi dan orang eropa masih sangat asing dan radikal.

Dalam buku pertamanya, cerita yang diangkat sarat dengan gagasan keadilan dan tuntutan hak sipil. Praktik-praktik pergundikan dan penghormatan berlebihan terhadap pejabat mendapat kritik keras lewat suara hati Minke dan Nyai Ontosoroh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline