Lihat ke Halaman Asli

Farhan Akbar

Mahasiswa

Standar Media Sosial: Apakah Kehidupan Nyata Kini Terlalu Biasa?

Diperbarui: 15 Desember 2024   22:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan manusia modern. Dengan lebih dari miliaran pengguna di seluruh dunia, platform seperti Instagram, TikTok, Twitter, dan Facebook bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga arena di mana orang memproyeksikan identitas, aspirasi, dan gaya hidup mereka. Namun, perkembangan ini telah melahirkan fenomena yang kompleks: masyarakat mulai menjadikan standar yang ditampilkan di media sosial sebagai tolok ukur kehidupan mereka. Hal ini menimbulkan berbagai implikasi, baik positif maupun negatif, terhadap cara individu memandang diri sendiri, hubungan sosial, hingga keputusan hidup.

Media sosial menawarkan ruang untuk berbagi pencapaian, kebahagiaan, atau momen-momen berharga dalam hidup seseorang. Namun, sebagian besar konten di media sosial cenderung menampilkan versi terbaik—bahkan sering kali versi yang “dibuat-buat”—dari kehidupan seseorang. Melalui foto yang diedit, video yang diproduksi dengan sempurna, dan narasi yang selektif, pengguna media sosial sering kali memproyeksikan kehidupan yang tampak ideal.

Fenomena ini melahirkan apa yang disebut highlight reel, yaitu kumpulan momen terbaik yang dipublikasikan di media sosial. Sayangnya, bagi sebagian orang, momen-momen ini bukan hanya sekadar inspirasi, tetapi menjadi tolok ukur untuk menilai kehidupan mereka sendiri. Misalnya, standar kecantikan yang didiktekan oleh media sosial sering kali membuat individu merasa tidak percaya diri dengan penampilan mereka. Fenomena serupa juga berlaku pada standar gaya hidup, keberhasilan finansial, hingga hubungan romantis.

Menjadikan media sosial sebagai standar kehidupan memiliki dampak psikologis yang signifikan, terutama dalam hal kesehatan mental. Salah satu dampak yang paling sering dilaporkan adalah comparison trap atau perangkap perbandingan. Individu cenderung membandingkan kehidupan mereka yang nyata dengan versi sempurna yang dilihat di media sosial, yang sering kali membuat mereka merasa tidak cukup baik, gagal, atau tidak memenuhi ekspektasi sosial.

Penelitian menunjukkan bahwa paparan terus-menerus terhadap konten media sosial yang ideal dapat menyebabkan gangguan seperti kecemasan, depresi, dan penurunan rasa percaya diri. Hal ini diperparah oleh algoritma media sosial yang cenderung menampilkan konten yang paling menarik perhatian, sering kali berupa gaya hidup mewah, tubuh ideal, atau kisah sukses yang luar biasa. Padahal, konten tersebut sering kali tidak mencerminkan realitas kehidupan sehari-hari.

Selain dampak psikologis, standar media sosial juga memengaruhi cara individu menjalani kehidupan mereka. Tidak jarang orang membuat keputusan berdasarkan bagaimana hal itu akan terlihat di media sosial. Misalnya, seseorang mungkin memilih lokasi liburan, gaya pakaian, atau bahkan menu makanan yang dianggap "Instagramable" semata-mata untuk mendapatkan pengakuan di media sosial.

Fenomena ini menunjukkan pergeseran nilai dalam masyarakat modern, di mana validasi eksternal, seperti jumlah like atau komentar positif, menjadi sangat penting. Hal ini dapat menciptakan tekanan sosial untuk terus "memperbarui" diri agar tetap relevan dan diterima dalam komunitas online.

Generasi muda, terutama Gen Z dan milenial, adalah kelompok yang paling rentan terhadap pengaruh standar media sosial. Mereka tumbuh di era digital, di mana media sosial adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Standar kecantikan, gaya hidup, dan pencapaian yang dipromosikan di media sosial sering kali menjadi panduan bagi mereka dalam membentuk identitas diri.

Misalnya, dalam hal kecantikan, filter dan aplikasi pengeditan foto telah menciptakan standar yang tidak realistis. Banyak remaja merasa perlu untuk mencapai standar ini, meskipun harus mengorbankan kesehatan fisik atau mental mereka, seperti melalui diet ekstrem atau prosedur kosmetik yang berisiko. Hal ini menunjukkan bagaimana media sosial dapat menjadi pedang bermata dua: di satu sisi memberikan inspirasi, tetapi di sisi lain menciptakan tekanan yang tidak sehat.

Meski begitu, tidak dapat disangkal bahwa media sosial juga membawa banyak manfaat jika digunakan dengan bijak. Media sosial dapat menjadi sumber informasi, edukasi, dan inspirasi. Platform ini juga memberikan kesempatan untuk memperluas jaringan sosial, membangun komunitas, dan bahkan mendukung gerakan sosial yang penting.

Namun, agar manfaat ini dapat dimaksimalkan tanpa membiarkan dampak negatifnya mengambil alih, diperlukan literasi digital yang baik. Literasi digital membantu individu memahami cara kerja media sosial, termasuk bagaimana algoritma dapat memengaruhi persepsi mereka terhadap realitas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline