Lihat ke Halaman Asli

Farhan DongantaJaya

Mahasiswa STAIN Mandailing Natal

Politik Keperempuanan: Protes dan Harapan

Diperbarui: 3 September 2021   02:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di dalam sejarah panjang peradaban, seringkali perempuan mendapatkan intimidasi dari pihak-pihak yang pola pikirnya patriarkis. Kita bisa melihat fakta itu melalui sejarah ilmu pengetahuan, dimana filsuf Aristoteles menganggap bahwa perempuan tidak memiliki logos seperti laki-laki, sehingga urusan perempuan hanya sebatas oicos atau rumah tangga.

Dari adanya hal ini, kita hendak mencari dimana saja letak ketidakadilan terjadi pada perempuan.Sialnya segala aspek menunjukkan bahwa perempuan tidak mendapatkan keadilan. Baik ia dalam bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, bahkan kultur kebudayaan. Dan yang akan Saya ulas adalah bidang politik.

Mengapa harus di dalam bidang politik? Karena segala kebijakan yang dihasilkan oleh para pekerja politik, yang mana kebijakan tersebut tidak pro terhadap keperempuanan, maka yang akan terkena imbas dari hal tersebut adalah peradaban. Politik keperempuanan sangat perlu untuk dicermati, karena kebijakan politik bisa memberlakukan aturan hukum, ekonomi, sosial, dst.

Mengambil keputusan untuk mencermati sekaligus menuntut keadilan untuk perempuan, melalui kritik terhadap politik adalah sesuatu yang sangat revolusioner. Mengapa? Karena apa yang dituntut bukan hanya sekadar hak, tetapi juga perubahan sistem, sehingga parlemen dan eksekutif tidak lagi menjadi pabrik kebijakan melainkan pabrik kebijaksanaan. Terlebih-lebih ia dihasilkan untuk keperempuanan.

Tetapi, di dalam teori kebijakan, seringkali kita diterpa oleh kesialan. Para politisi perempuan yang berafiliasi dengan partai politik, tidak bisa bergerak secara utuh dan penuh untuk menghasilkan sesuatu yang positif terhadap keperempuanan, karena budaya politik kita saat ini dicemari oleh sifat-sifat patriarkis, seperti pragmatisme dan feodalisme. Kita ketahui bahwa kedua pemikiran ini bergerak diranah yang menguntungkan kelompok-nya sendiri bukan untuk peradaban.

Kesialan itu mengakibatkan protes, baik ia gejolak di dalam bathin maupun kepala. Dengan kata lain, protes-protes tersebut akan menghasilkan dalil-dalil filosofis untuk menghasilkan kemaslahatan. 

Tetapi dalam konteks ini, negara seringkali tidak memahami bahasa-bahasa tuntutan keadilan yang dilayangkan oleh perempuan, karena bahasa yang dipahami negara hanya bahasa yang sistematis dan konstruktif, sedangkan bahasa perempuan adalah bahasa dekonstruktivisme. Dimana bahasa tersebut hendak membongkar segala keganjilan yang sedang dan akan terjadi.

Kita tahu bahwa: bahasa yang sistematis dan konstruktif adalah bahasa patriarkis dimana retorika disusun secara berlebih, sehingga yang terlihat adalah sensasi bukan substansi, mungkin juga bahasa seperti itu ada di dalam tulisan ini. 

Bahasa yang konstruktif tersebut hanya akan membuat orang yang mengemukakan pikirannya terjerembab pada kondisi paradoksal (self-reference) dimana persyaratan-persyaratan yang menentukan suatu pergerakan dari pemikiran.

Kondisi paradoksal ini pun berlaku di dalam kehidupan perempuan. Perempuan harus memiliki makna dan hakikat sebagai kriterium berpikir untuk di mengerti oleh lawan bicaranya, bukankah hal seperti itu adalah kondisi paradoksal, dimana seseorang bergerak karena keterpaksaan?.

Keperempuanan tidak ada di dalam rasionalisme, justru sebaliknya, keperempuanan bergerak di dalam empirisme. Dimana pengalaman yang menghasilkan pemikiran. Hal ini tentu berkaitan dengan ucapan Bertrand Russell: Filsafat yang paling baik adalah empirisme. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline