Lihat ke Halaman Asli

Farhan Akbar

Pragmatis, Panteis

Asia Tenggara adalah Kita, "Sebuah Refleksi Semangat Bersejarah"

Diperbarui: 15 Juni 2021   22:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KTT ASEAN ke-33 yang dilaksanakan di Singapura, tanggal 11-15 November 2018.

Siapakah kita yang mengaku-ngaku sebagai manusia? sebagai bagian dari mitos dan pembangunan setiap peradaban, sebagai sesuatu unsur dari jagad raya yang begitu besar, manusia melihat dirinya sebagai "mahluk sejarah". 

Maka kita semua yang tinggal di negara Indonesia adalah bagian kecil dari sebuah wilayah bernama "Asia Tenggara", adalah penting untuk mengenal bahwa kebanggaan kita juga menjadi kebanggan mereka dengan sejarah yang panjang, membentuk peradaban yang membuat bangsa Eropa dari berbagai penjuru datang serta menanamkan pengaruhnya, hingga kita semua mendeklrasikan lahirnya kemerdekaan.

Mempelajari sejarah bagi sebagian manusia modern adalah perkara yang cukup mudah. Anda tinggal mengambil buku dari rak buku yang anda punya dan mulai mencari buku dengan kategori "Sejarah" didalamnya. Itupun juga anda menyadari bahwa membaca buku sejarah dapat memberikan manfaat, meski tidak semua orang merasakan bahwa mempelajari masa depan justru lebih relevan serta realistis untuk dipahami. 

Masyarakat modern cenderung menghilangkan sekat-sekat periodisasi kehidupan mereka, mempelajari sejarah sekarang dikhususkan kepada mereka yang ingin mengambil bagian dari perabadan manusia yang kompleks  dan panjang. Sejarah memperkaya pemikiran mereka, sesekali bernostalgia sembari mengingat bahwa sejarah tidak hitam-putih.

Asia Tenggara, adalah bagian dari wilayah yang kita kenal bagian dari 'Asia' yang lebih besar. Ada Asia Timur, Asia Selatan, Asia Barat Daya, serta Asia Tenggara. Jika anda adalah orang Indonesia, tentu tidak asing mengenai pemahaman bahwa Indonesia adalah bagian dari kawasan Asia Tenggara. Ini dibuktikan dimana negara kita berbatasan dengan beberapa negara seperti; Malaysia, Filiphina, Timor Leste, Brunei Darussalam, Singapura, Thailand, Vietnam, Kamboja, Myanmar, Laos. Begitu banyak masing-masing dengan perubahan kesejaarahan yang berbeda-beda.

Meskipun begitu perkembangan sejarah masing-masing negara, selalu berinteraksi dengan negara-negara lain disekitarnya. Dapat kita lihat adanya interaksi antara Malaysia dan Indonesia, bahkan sebelum menjadi sebuah negara yang berdaulat, interaksi yang intim sudah terjadi terutama pada masa kekuasaan kerajaan Malaka dan Sriwijaya. Bahkan itu yang mendorong Soekarno serta tokoh perjuangan Malaysia Ibrahim Yacoob menghendaki persatuan diantara kedua wilayah, demi bisa melihat kembali masa-masa kejayaan 'golden age' kerajaan Malaka dan Sriwijaya.

Pada akhirnya idealisme mereka memang hancur, terutama ketika Jepang kalah oleh sekutu (AS) pada masa Perang Dunia II, sehingga masing-masing negara-pun kembali dirundung oleh kekerasan atas keinginan lama para penjajah untuk merebut kembali wilayah mereka semula. Dimana Belanda ingin kembali menguasai wilayah Indonesia, dan Inggris kembali ke wilayah Sarawak, Sabah, Singapura untuk mengambil alih kembali kekuasaan. 

Konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia pada masa kepemimpinan Soekarno, juga meretakkan hubungan negara yang disatukan oleh sejarah ini. Sanjungan sebagai negara "serumpun"-pun. Disematkan karena, ketika melihat penduduk Malaysia atau Melayu, memang tidak ada bedanya dengan yang ada di Indonesia. Wilayah Sumatra masyarakat disana, memiliki pemerintahan kesulatanan, dan sama seperti apa yang dapat kita temukan di negar Malayisa.

Paradigma ini membuat kita selalu merasa ada koneksi yang samar-samar antara satu negara dengan negara lainnya. Kesemuanya sama-sama pernah dijajah oleh bangsa asing, memiliki sejarah panjang masa kuno ketika dipengaruhi oleh kebudayaan India (Hindu-Buddha) serta kebudayaan Cina. Sehingga dapat terlihat sisa-sisa feodalisme yang masih dipertahankan. Indonesia memiliki Kasunan Yogyakarta dan Surakarta dimaan tradisi serta bukti fisik keraton masih dipertahankan dan dilindungi sebagai living heritage serta kebudayaan tangible dan non-tangible. Tidak hanya sejarah, disana terdapat apa yang filsuf Jerman Hegel sebut sebagai "geist" "spirit" yang masih melekat di wilayah Yogyakarta, meski terancam oleh modernisasi. 

Tradisi serta kebudayaan telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Thailand melangkah lebih jauh dengan menjadikan sistem pemerintahannya, dengan bentuk monarki absolut. Negeri 'Gajah Putih' ini masih mempertahankan bentuk asli dari pemerintahan monarki, meski negara-negara di sekitarnya sudah beralih kepada demokrasi serta sosialisme, dnegan mengedapankan nasionalisme.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline