Lihat ke Halaman Asli

Merajut Masa Depan Penuh Bahagia

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mata hari mulai menyengat. Meskipun itu terasa terlambat. Dan sesekali mentari bersembunyi di balik awan. Inilah Desember, di mana angin laut berhembus kencang. Dan ombak berayun-ayun tinggi rendah.

Siang itu, saya menunggu pak Nur Saman, pelaut dari pulau Tegal - Lampung Selatan- yang akan saya kunjungi, yang akan membawa kami ke seberang. Saya dan teman saya, Habibi, menunggu sejak pukul 11.15 Wib namun jemputan belum juga datang. Tentu saja, usaha panggilan melalui telepon seluler atau sekedar pesan singkat sudah kami coba. Dan barulah sekitar pukul 13.00 Wib Pak Nur Saman datang menjemput. Untuk saya menerima smsnya sebelum saya membuat deal dengan penyewaan perahu.

Kami berangkat. Dengan angin yang berhembus dan membuat ombak melambai indah, sekaligus mengerikan. Lima belas menit terhuyung-huyung di atas perahu. Tetapi, di balik ketakutan itu saya menikmati pemandangan dasar laut yang membiru dan batu karang yang mulai tumbuh lagi –karena satu dekade silam para nelayan menggunakan pukat harimau untuk menangkap ikan. Atau sebenarnya karang-karang itu adalah sisa yang mampu bertahan dari gempuran bom ikan. Di kanan kiri terdapat keramba-keramba yang membudidayakan ikan kerapu.

Lima belas menit berlalu. Kami berlabuh. Saya yang sudah tidak sabar melompat ke pantai. Lembut pasir putihnya masih menggelitik kaki, sama seperti sebulan silam ketika saya dan teman-teman dari 1000burungkertas datang kemari. Meskipun ada yang berbeda di sini. Sampah. Ya, sampah tampak berserakan di sana sini. Sampah plastik entah kiriman dari mana. Dari keramba-keramba itu kah, atau dari pantai lain. Pengunjung atau turis mungkin juga penyebabnya, begitu juga warga setempat yang bisa saja sembarangan membuang sampah.

Tidak jauh dari bibir pantai, gedung kecil bercat putih menjadi tempat tujuan perjalanan saya. Bangunan kecil itu tidak ada sekat sama sekali. Ya, hanya satu ruang. Satu papan tulis. Dua pintu. Dan sekitar dua puluh tiga anak-anak yang terbagi dalam tiga tingkatan belajar. Kelas satu, kelas dua, dan kelas tiga. Mereka duduk dalam deret yang berbeda. Tiap deret mengindikasikan kelas yang berbeda.

Adalah pak Sarwani, warga setempat yang ditunjuk untuk mengajari mereka belajar membaca, menulis, dan juga menghafal. Bersertifikat guru kah? Kalau anda menanyakan itu kepada mereka, tentu kau anda akan mendengar gelak tawa. Apa sertifikat guru itu? Karena jangankan sertifikat guru, sanggar belajar itu tidak dilengkapi dengan sarana administratif yang memadai. Lebih baik jangan melihat dari sisi itu; sudut pandang yang selalu meresahkan dan membuat orang menghalalkan segala cara. Tapi lihatlah dari dalam. Semangat belajar mereka adalah gambaran orang yang ingin beranjak dari keterpurukan. Pelajaran yang dimulai pukul 12.00 Wib siang selalu berjalan dengan hidmat. Antusias mereka mengikuti pelajaran jarang saya temukan di sekolah tempat saya mengajar. Dan hari ini, yang akan saya lakukan bersama teman saya adalah bermain. Berbagi bahagia dan ceria. Sama seperti yang kami lakukan sebulan lalu dengan teman-teman 1000burungkertas. Dalam keceriaan itu, kami ingin belajar. Belajar menyusun kalimat. Itulah permainan pertama. Siswa dibagi ke dalam empat kelompok. Masing-masing kelompok menerima satu bendel kelimat untuk disusun dengan cara yang benar. Sebuah petunjuk diberikan berupa kalimat pertama, dan tugas masing-masing team adalah melanjutkan kalimat tersebut. Mereka pun berlomba, mencoba menyusun kalimat dengan benar. Dan kelompok yang telah selesai menyusun kalimat harus berlari menuju pohon kelapa untuk menempelkan hasil kerjanya di sana. Setelah selesai menyusun kalimat, kami beralih ke permainan berikutnya. Membaca. Mereka menerima sebuah kartu yang terdiri dari beberapa kalimat. Setiap anggota team harus mendapat giliran membaca. Sehingga akan ketahuan siapa yang bisa membaca dengan lancar dan yang belum.

Di sinilah yang luar biasa. Tidak ada kemarahan atau kejengkelan ketika melihat teman seteamnya kesulitan membaca. Justru yang paling bisa membaca mengajari temannya dengan baik. Semua seperti tahu siapa yang sudah bisa membaca dan siapa yang belum. Tidak perlu mengolok-olok. Tapi kalau perlu bantulah. Maka ketika setiap kelompok maju dan mulai membaca, mata saya sedikit berkaca melihat empati mereka. Dan yang terakhir adalah berlatih berhitung. Tujuh pertanyaan dalam bentuk cerita dan tiga pertanyaan langsung dalam bentuk penjumlahan dan perkalian. Tidak ada yang mendapatkan nilai sempurna memang. Dari tiga perlombaan itu, pemenangnya berasal dari kelompok yang berbeda. Sehingga pencil yang sudah kami persiapkan dapat terbagi secara merata. Setelah masing-masing menerima hadiah pensil, kami pun berlanjut dengan makan bersama. Makan makanan ringan yang kami bawa. Semuanya berbagi. Tidak ada yang memonopoli karena ia yang membuka bungkusan tersebut. Yang mendapatkan keripik berbagi dengan yang mendapatkan kacang, yang mendapatkan krispi berbagi dengan yang mendapatkan pilus. Semua pun bahagia. Hmm, dan saya harus pulang. Kembali menyisir pantai menuju rumah Pak Nur Saman. Padahal senja begitu indah. Perlahan membakar ujung laut. Seluetnya mengundang rindu. Saat-saat seperti seharusnya ada kebahagiaan. Ya kebahagiaan. Dan kebahagiaan di pantai adalah terjun ke laut, berenang, beradu dengan ombak. Kami pun terjun. Ditemani anak-anak luar biasa itu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline