Lihat ke Halaman Asli

Farhad Najib

Mahasiswa aktif UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA

Book Review Hukum Perkawinan Islam di Indonesia

Diperbarui: 19 Maret 2024   07:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama: Farhad Najib

sejarah singkat hukum perkawinan diindonesia. Hukum perkawinan di Indonesia sendiri pada awalnya terjadi pluralisme peraturan tentang perkawinan, hal ini bahkan terjadi setelah Indonesia merdeka. Terdapat 5 kategori ketentuan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai masalah perkawinan bagi warga di Indonesia. Kategori itu didasari atas 3 golongan penduduk seperti golongan eropa, golongan timur asing, golongan pribumi yang kemudian dibagi menjadi :
1.Hukum perkawinan bagi golongan eropa dan timur asing;
2.Hukum perkawinan bagi golongan pribumi dan timur asing yang memeluk agama Islam;
3.Hukum perkawinan bagi golongan pribumi yang memeluk agama kristen;
4.Hukum perkawinan bagi golongan bukan pemeluk agama Islam maupun kristen;
5.. Hukum perkawinan bagi golongan yang melakukan perkawinan campuran.
Dengan adanya pluralisme hukum diatas, menimbulkan suatu persoalan pada masyarakat pribumi sehingga masyarakat menuntut adanya perubahan terhadap pengaturan masalah perkawinan. Hal ini penting untuk menjaga perilaku asing tidak mempengaruhi warga pribumi dan budaya perkawinan warga pribumi khususnya yang beragama islam. Sehingga, Presiden Republik Indonesia mengajukan Rancangan Undang-Undang Perkawinan dengan no. R.02/PU/VII/1973 tertanggal 31 Juli tahun 1973 untuk disampaikan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Upaya ini tidak luput karena melihat gerakan masyarakat, yaitu maraknya gerakan dan saran-saran pemikiran oleh masyarakat Indonesia yang peduli pada materi hukum perkawinan yang kebanyakan adalah organisasi Perempuan Islam.
Pada saat itu juga pembahasan tentang Undang-Undang perkawinan tidak berjalan mulus adanya pasang surut dalam materi yang berisikan nilai keislaman pada pelaksanaan perkawinan. Yang mana pada saat itu rancangan Undang-Undang yang di ajukan oleh presiden masih banyak mengambil dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( burgelijk wetbook ). Sehingga menimbulkan pertentangan dari para ulama bahkan juga masyarakat Indonesia khususnya umat Islam bahwa RUU itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar pasal 29 ayat (1) tentang kebebasan beragama. Konflik tersebut didasarkan pada norma materiil hukum perkawinan yang jauh dari konsep Al-Quran. Materi yang sering dikutip adalah mengenai norma perkawinan dan warisan, perkawinan beda agama, peraturan mengenai anak angkat, masa iddah bagi perempuan, larangan poligami, dan larangan perkawinan sedarah.
Akhirnya pada tanggal 2 Januari 1974, UU Perkawinan disahkan oleh seluruh forum DPR bersama pemerintah Indonesia menjadi UU No. 1/1974 perkawinan pertama. Secara khusus, undang-undang perkawinan ini hanya dapat diterapkan jika peraturan pelaksanaannya sudah ada. Baru pada tahun 1975
undang-undang no. Akta nikah 1/1974 sah jika peraturan pemerintah (PP) tidak berlaku.  Tahun 1975 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah tidak ada lagi. Dengan adanya sistem hukum seperti itu, ketentuan-ketentuan yang ada mengenai perkawinan tidak akan berlaku sampai ketentuan-ketentuan tersebut diatur secara khusus.  
Sehingga pengaturan hukum perkawinan tidak hanya terbatas pada Undang-Undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 saja, namun urusan perkawinan Ringkasan Hukum Islam (KHI). Permasalahan perkawinan KHI lebih banyak berada di tangan hakim pengadilan agama. KHI lahir dari sebuah kebutuhan teknis hukum, dimana di Indonesia pengadilan yang lebih rendah bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan. Keberadaan KHI dapat memenuhi kebutuhan teknis hukum peradilan agama.
Mengingat hukum Islam diberlakukan di pengadilan agama, terdapat perbedaan pemahaman hukum Islam yang turut menyebabkan perbedaan atau kerancuan pemahaman fiqih. Hal ini disebabkan karena pada masa lalu terdapat kesimpangsiuran atau perbedaan pendapat dalam pengambilan keputusan para hakim di pengadilan agama, yang diakibatkan oleh adanya perbedaan pendapat para ulama dan acuan pendapat para hakim. peradilan agama Islam dapat disatukan. Sederhananya, KHI adalah hukum Islam yang diatur menjadi suatu kodifikasi hukum Islam yang seragam untuk dijadikan pedoman bagi hakim di pengadilan agama. Diharapkan seluruh produk hukum peradilan agama diarahkan
ke KHI dan dijadikan referensi.
Kompelasi Hukum Islam dirancang sejak berdirinya pengadilan agama pertama pada tahun 1957, yaitu berdirinya Pengadilan Agama PP/Syar'iyah di luar Pulau Jawa dan Madura dengan Keputusan Pemerintah No. 1945/1957. Dalam PP ini, seluruh hakim diimbau menggunakan kitab fiqih yang dianjurkan pemerintah sebagai pedoman dalam penyidikan dan memutus perkara. Kitab fiqih yang bersangkutan adalah kitab fiqh yang kemudian disusun menjadi peraturan kumpulan hukum Islam. yang mana isi Materi Hukum Islam (KHI) lebih berkaitan dengan hukum perkawinan, warisan dan wakaf. Saat ini KHI sering disebut dengan fiqh ala Indonesia yang disusun sesuai dengan keadaan dan kebutuhan hukum umat Islam Indonesia. KHI bukanlah bentukan mazhab atau mazhab baru, melainkan merupakan penggabungan berbagai mazhab diIndonesia untuk menyelaraskan pemahaman hakim pengadilan agama. Lahirnya KHI secara hukum didukung oleh Keputusan Presiden No. Peraturan 1/1991 tanggal 10 Juni 1991.
Meskipun KHI didirikan berdasarkan hukum Islam, namun undang-undang perkawinan tetap disusun sehubungan dengan undang-undang perkawinan yang ada saat ini, seperti UU No. 22/1946,
UU No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Perkawinan, Perceraian dan Perdamaian di Kabupaten Jawa Madura dan Undang-undang Kabupaten Jawa Madura No. 1/1974 tentang Perkawinan, Keputusan Pemerintah No. 9/1975UU No. 1/1974. Artinya KHI tetap menjelaskan permasalahan perkawinan dengan mengacu pada undang-undang perkawinan yang ada. Oleh karena itu, dengan adanya KHI, jelaslah seluruh pendapat para ulama yang sebelumnya hanya ada dalam kitab-kitab fiqih, menjadi hukum positif Islam di Indonesia.

Bagian BAB II buku ini menjelaskan tentang pengertian perkawinan, Pengertian perkawinan dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Undang-undang ini tidak hanya mengatur soal status perkawinan,
namun peraturan ini merupakan landasan hukum yang sangat erat kaitannya dengan anak atau hak-hak dasar lainnya. terhadap kehidupan masyarakat sebagaimana diatur dalam UUD 1945. 17 Bunyi Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut:
"perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.".
Pengertian tersebut tidak jauh berbeda dengan pengertian dalam ajaran Islam yang diartikan dengan kesepakatan yang kuat antara laki-laki dan perempuan untuk menciptakan kedamaian dan kebahagiaan dalam kehidupan berkeluarga yang penuh cinta kasih yang diridhoi Allah SWT. Berkenaan dengan kata-kata perkawinan dalam Pasal Nomor 1 UU Nomor 1 Tahun 1974, maksud yang harus diperhatikan oleh khalayak adalah:
1.Makna ikatan lahir batin
Ikatan lahir batin disini adalah ikatan dimana perkawinan adalah sebuah perjanjian yang didasari dari sisi lahiriah dan batiniah. Artinya perkawinan tidak dapat dipandang sebagai perjanjian pada umumnya atau perjanjian yang bersifat hubungan perdata semata, melainkan pada perkawinan harus dipandang lebih.
2.Antara laki-laki dan perempuan.
Ini adalah rumusan terpenting didalam melakukan hubungan perkawinan, dimana perkawinan hanya dapat dilakukan oleh mereka laki-laki dan perempuan saja. Atau dalam istilah dikenal dengan pasangan yang berbeda jenis kelaminnya. Dengan ketentuan ini jelas, Indonesia menolak perkawinan yang dilakukan oleh mereka sesama jenis. Apabila perkawinan sesama jenis itu dilakukan di Indonesia, jelas dapat dikatakan itu perkawinan tidak akan mendapatkan pengakuan hukum di Indonesia, karena itu tidak ada dasar hukumnya.
3.Suami dan istri yang membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia Kata membentuk keluarga atau rumah tangga mempunyai arti bahwa dalam perkawinan seorang laki-laki dan perempuan tidak semata hidup berdua saja, melainkan mereka harus mempunyai tujuan. Tujuan berumah tangga itu diimplementasikan dengan membentuk keluarga. Oleh karena itu tidak dibenarkan di Indonesia praktek perkawinan yang tidak bertujuan untuk berumah tangga seperti contoh adalah praktek kawin kontrak. Jelas dalam kawin kontrak itu bersifat jangka waktu sesuai kontrak perkawinannya. Suatu perkawinan yang ada jangka waktunya, maka itu sama saja tidak berniat untuk berumah tangga yang bahagia dan kekal.
4.Berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa Ini adalah kunci dari hubungan perkawinan, dimana alasan ini yang membedakan antara perkawinan dan perjanjian yang bersifat keperdataan. Perkawinan mutlak harus didasari ketuhanan YME, artinya perkawinan adalah peristiwa suci sampai perbuatan ini dapat dikatakan sebagai peristiwa dalam agama. Hanya dengan keyakinan manusia yang beragama saja yang paham bahwa halal nya hubungan antara laki-laki dan wanita disatukan oleh agama.
Pada undang-undang No. 1 tahun 1974, pada pasal 1 itu menjelaskan tentang tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Kemudian pada Kompilasi Hukum Islam pasal 3 juga merumuskan tentang tujuan perkawinan yaitu mempunyai tujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang Sakinah,mawaddah,rahmah. Antara Undang-Undang dan KHI itu sedikit berbeda mengenai rumusan tujuan perkawinan akan tetapi perbedaan itu bukan untuk memperlihatkan sebuah pertentangan dalam tujuan perkawinan, melainkan lebih memasukkan unsur-unsur yang sebanyak banyak nya dalam tujuan perkawinan.
Dalam hal perkawinan, Allah SWT memerintahkan hambanya tentu ada tujuan yang perlu dipahami oleh manusia tentang tujuan perkawinan. Adapun tujuan dari sebuah perkawinan dapat diulas dari beberapa gambaran ayat Suci Al-Qur'an seperti :
1.Untuk membentuk keluarga Sakinah dan keturunan seperti yang disebutkan dalam Q.S. Ar-Ruum ayat 21.
2.Untuk menjaga diri dari perbuatan maksiat Q.S Al-Isra ayat 17.
3.Untuk menciptakan rasa kasih sayang Q.S Ar-Rum ayat 21.
4.Untuk melaksanakan ibadah Q.S Adz-Dzariyat ayat 49.
5.Untuk pemenuhan kebutuhan seksual Q.S Ali-Imran ayat 14.
*Syarat dan Rukun perkawinan
Mempelajari tentang rukun dan syarat yang ada pada hukum perkawinan Islam di Indonesia, maka kesemuanya itu ada hubungan benang merahnya dengan prinsip perkawinan yang ada pada Undang-Undang No. 1 tahun 1974. Mengingat umat Islam di Indonesia dalam konteks perkawinan tetap harus tunduk pada hukum Undang-undang yang berlaku, walaupun secara khusus fiqih munakahat juga membahas persoalan itu. Kalau kita kaji dari perspektif fiqih munakahat, maka perumusan terhadap rukun dan syarat itu sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan yang ada pada Undang-Undang Perkawinan. Pada prinsipnya rukun dan syarat yang diulas oleh para ulama dalam fiqih munakahat menunjukkan sesuatu yang tidak berbeda secara signifikan dengan yang ada pada Undang-Undang. Bila dikaji lebih dalam, penentuan adanya rukun dan syarat ini sesungguhnya penjabaran dari asas-asas yang ada perkawinan. Asas-asas tersebut yang dijadikan pedoman untuk mengatur hal-hal teknis yang kemudian diuraikan pada rukun dan syarat. Asas yang terkandung didalam Undang-Undang no. 1 Tahun 1974 secara singkat terdiri atas 6 macam hal seperti tujuan perkawinan adalah 1. membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, 2. Sahnya perkawinan baik secara keyakinan dan peraturan, 3. Berasaskan monogami terbuka, 4. Asas matang jiwa raga, 5. Asas mempersulit perceraian, 6. Kedudukan seimbang antara suami dan istri. Dari asas-asas tersebut diatas, maka akan dirincikan menjadi rukun dan syaratsyarat dalam perkawinan. Adapun rukun nikah adalah:
1.Pengantin lelaki (Suami)
2.Pengantin perempuan (Isteri)
3.Wali
4.Dua orang saksi lelaki
5.Ijab dan kabul (akad nikah)
Setelah melihat rukun diatas maka akan dapat dijabarkan bahwa syaratsyarat sah sebuah perkawinan itu antara lain :
a)Syarat adanya kedua mempelai
1.Calon mempelai laki-laki
*bahwa ia betul laki-laki (terang/jelas)
*Calon suami beragama islam
*Akil baligh dan mukallaf
*Calon mempelai laki-laki diketahui dan tertentu
*Calon mempelai itu jelas halal dikawin dengan calon istri
*Calon laki-laki tahu dan mengenal calon istri serta tahu betul bahwa calon istrinya itu halal untuk dikawini
*Calon suami itu rela untuk melakukan perkawinan
*Tidak dalam kondisi sedang ihram baik haji ataupun umroh
*Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri
*Calon suami tidak sedang dalam keadaan beristri 4.
2.Calon mempelai wanita
*Calon mempelai wanita
*Akil baligh
*Bahwa ia betul wanita (terang/jelas) dengan artian bukan seorang khunsa
*Halal bagi calon mempelai laki-laki atau wanita itu haram untuk dikawini.
*Calon mempelai wanita tidak dalam ikatan perkawinan
*Calon mempelai wanita tidak dalam masa iddah
*Tidak ada paksaan
*Tidak dalam ihram baik haji ataupun umroh.
b)Syarat saksi dalam perkawinan
*Sekurang-kurangya dua orang
*Islam
*Berakal
*Baligh
*Laki-laki
*Tidak terganggu ingatan dan tidak tuli
*Memahami kandungan lafadz ijab dan qobul untuk memahami terhadap maksud dari akad nikah.
*Dapat mendengar, melihat dan bercakap
*Adil (Tidak melakukan dosa-dosa besar, fasik artinya ia beragama dengan baik)
*Merdeka
c)Syarat wali dalam perkawinan
*Seorang wali beragama islam
*Akil baligh, terhadap baligh ini merujuk pada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud yang artinya "dari Ali r.a dari Nabi SAW bersabda, dibebaskannya tanggungan atau kewajiban itu atas tiga golongan, yaitu orang yang sedang tidur sampai ia terbangun dari tidurnya, anak kecil sampai ia bermimpi (baligh) dan orang gila sehingga ia sembuh dari gilanya" (H.R Abu Daud).
*Berakal sehat
*Laki-laki
*Adil.
*Merdeka
*Tidak dalam ihram baik haji ataupun umroh.
d)Mahar
Memberikan mahar adalah bagian dari prinsip yang ada pada hukum perkawinan,
e)Syarat Akad (Ijab Qobul)
*'aqid (orang yang berakad),
*ma'qud 'alaihi (sesuatu yang diakadkan),
*sighat/lafadz (kalimat akad),
*ijab (permintaan), dan
*qobul (penerimaan).
Sebab- sebab Putusnya perkawinan:
1. Kematian;
2. Perceraian;
3.Atas putusnya pengadilan

Demikian sedikit ulasan tentang Buku Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline