Lihat ke Halaman Asli

FARHAD BALJUN

Penikmat Sastra

Gentong Mardiyah

Diperbarui: 4 Februari 2016   14:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hampir senja, ketika terlihat tiga orang laki-laki dan seorang perempuan memakai seragam salah satu lembaga keuangan tersohor di ibukota memasuki halaman rumah sederhana bercat hijau, tidak ada yang mencolok di halaman rumah yang lumayan luas itu, selain dua buah gentong air bertuliskan ‘air wudhu’ dan ‘air minum’ yang berdiri kokoh sejajar dengan pagar dekat pintu masuk halaman.

Pada teras dekat pintu masuk terdapat beberapa pot bunga berjajar rapi dengan ukuran berbeda dengan tanaman rumahan yang terlihat terawat yang menimbulkan kesan asri dan sejuk. Salah satu dari tamu yang berpenampilan parlente dengan rambut cepak dan terlihat paling muda diantara yang lainnya mengetuk pintu rumah itu dengan pandangan menyelidik ke samping kanan kiri rumah sambil sesekali mengintip dibalik kaca nako yang berjajar vertikal disamping pintu, “Assalamualaikum, bu hajjah Mardiyah.. ini kami dari bank Surya ada keperluan dengan ibu.”

Setelah beberapa ketukan tidak ada jawaban, sayup-sayup terdengar jawaban dari dalam rumah “Waalaikumsalam. Iya sebentar.” gagang pintu diputar dan pintu terbuka lebar, terlihat perempuan tua umur 65 tahunan dengan mukenah masih dikenakan tersenyum ramah kepada tamu-tamu tersebut, dia mempersilahkan masuk tamu-tamu itu dengan sikap khidmat dan penuh kehangatan.

“Silahkah bapak dan ibu, mohon maaf, saya tadi masih wudhu di kamar mandi, tidak dengar ada ketukan dipintu, maklum pendengaran dan gerakan saya berkurang menjelang 70 tahunan ini.. bapak dan ibu mau minum apa?” Terlihat raut muka tamu-tamu itu yang semula tegang dan penasaran berubah menjadi iba setelah tuan rumah itu menyambut mereka dengan hangat.

“Tidak perlu repot-repot bu, kami hanya ada keperluan sebentar dengan ibu, lagian ini sudah menjelang adzan maghrib, mohon maaf kami bertamu ke rumah Ibu menjelang maghrib, semoga kami tidak mengganggu aktifitas ibadah ibu” ujar tamu perempuan yang tampak anggun dengan syal ungu melingkar dilehernya. Perempuan tua itu hanya tersenyum ramah dan mengangguk lemah “baiklah kalau begitu, silahkan bapak dan ibu, apa yang hendak kalian utarakan??” dia duduk dipojok ruang tamu dekat dengan pembatas antara ruang tamu dan ruang tengah rumah sederhana itu.

Laki-laki berbadan tambun dengan kulit sawo matang yang sedari tadi hanya diam dan terlihat sedikit kaku mulai membuka pembicaraan “Perkenalkan kami pegawai Bank Surya, Saya Bobi, disamping saya ini wakil saya Pak Atmadja, dan yang duduk disampingnya Pak Willy sedang itu sekretaris saya Bu Yuni. Begini Bu, sekitar 2 tahun lalu anak laki-laki ibu yang bernama Bustaman Lubis mengajukan pinjaman ke Bank Surya tempat kami bekerja, nilai pinjaman 100 juta dengan jaminan sertifikat rumah ini.

Alasan meminjam uang adalah untuk membuka usaha pengisian air minum isi ulang yang tempat dan perencanaan bisnisnya sudah kami pelajari dan kami setujui dengan baik, selain itu angsuran juga biaya-biayanya juga sudah kami sepakati bersama, tapi Bu, awalnya Pak Bustaman melakukan pembayaran angsuran sesuai kesepakatan dan tepat waktu pada 6 bulan pertama, selanjutnya angsuran tidak dibayar, kami sudah mencoba hubungi anak ibu melalui telepon tapi jawabannya selalu sama dan hanya janji-janji akan dibayar angsurannya. Sekali lagi mohon maaf bu hajjah Mardiyah, saya selaku kepala cabang Bank Surya cabang Kramat harus melakukan tindakan atas kredit macet ini, karena kami yang dicabang sudah beberapa kali terkena teguran dari pusat akibat masalah ini”

Perempuan tua yang semula mendengarkan kalimat demi kalimat itu dengan senyuman mendadak tertunduk lesu, dengan helaan nafas panjang mulai berujar “ Astaghfirullah.. Bustaman.. Bustaman.. Mana janjimu naakk akan membuat ibu tersenyum??” perempuan tua itu seakan bergumam dengan dirinya sendiri.

Lalu dengan pandangan nanar dan mengiba perempuan tua itu mulai mengangkat pandangannya kepada tamu yang hadir diruangan itu dan berucap “Lalu.. apa akibatnya Pak kalau sampai anak saya tidak menyelesaikan tunggakan-tunggakan itu?? Sebenarnya saya sebagai ibunya mengetahui hal ini, 2 tahun lalu Bustaman mengiba-iba kepada saya agar saya bersedia meminjamkan sertifikat rumah ini untuk melakukan pinjaman uang ke bank, dia ceritakan semuanya termasuk keinginannya untuk membuka usaha air minum isi ulang dan rencana-rencana selanjutnya yang memang terkesan muluk-muluk untuk ukuran perempuan tua seperti saya”.

Semua tamu mendengarkan penjelasan Bu Mardiyah dengan sungguh-sungguh, ada perasaan aneh menghinggapi, mereka prihatin dengan kehidupan perempuan udzur ini, perempuan yang sudah seharusnya menikmati masa tuanya dengan ketenangan tapi justru harus melewatinya dengan tingkah laku anak laki-laki harapannya.

“Mohon maaf ibu, apabila tunggakan-tunggakan itu belum bisa diselesaikan, maka dengan sangat terpaksa kami harus menyita rumah ibu sebagai ganti tunggakan-tunggakan itu, ini sudah keputusan final dari Bank Surya bu, kami telah berusaha menjelaskan ke Bank Surya pusat mengenai status ibu yang maaf.. status janda dan tidak bekerja. Tapi karena yang menjadi pertimbangan analisanya adalah data tunggakan-tunggakan itu, maka diputuskan rumah ibu ini kami sita!” ujar Pak Bobi dengan titik air mata terlihat menggenang di sudut mata sipitnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline