Terpilihnya Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto bersama Wakil Ketua Umum Edhy Prabowo menjadi mentri dalam kabinet Indonesia maju menjadikan peta parlemen di DPR berubah. Masuknya Gerindra pada koalisi pendukung pemerintah, hingga hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sudah memastikan akan menjadi oposisi di parlemen.
Bergabungnya Gerindra tentunya sudah bisa menjadi gambaran bagaimana dukungan parlemen terhadap pemerinthan Jokowi periode ke II. Hal ini tentunya akan timpang jika dibandingkan pada 2014 pasca Jokowi di Lantik menjadi Presiden pasca menjadi pemenang dalam gelaran Pilpres 2014.
Kendati menang dalam gelaran Pilpres tersebut namun dalam komposisi parlemen berbanding terbalik. Mengingat kala itu Koalisi Merah Putih (KMP) lebih menguasi kursi parlemen dengan persentase 52 persen kursi. Hal ini berimbas dengan runtutan proses pengambilan keputusan di DPR yang dimenangkan KMP.
Beberapa kemenangan yang dicapai dalam putusan kala itu diantaranya Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah (MD3), Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Serta proses pemilihan pimpinan DPR.
Hemat penulis, kehadiran partai oposisi dalam pemerintahan merupakan hal yang sangat penting, utamanya untuk negara dengan sistem pemerintahan demokratis. Menukil ideom Lord Acton, 'Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely'. Mengejawantahkan pemerintah membutuhkan kelompok oposisi untuk menjaga supaya pemerintahannya tidak absolut dan cover both side.
Pondasi Kuat
Minimnya oposisi dalam komposisi parlemen 2019-2024 menjadi sinyalemen jika Presiden Jokowi tidak bakal menghadapi ganjalan dalam menjalankan kebijakan atau program-programnya. Pun begitu, hal ini bisa ditinjau dari beberapa perspektif dari dampak yang ditimbulkan.
Pertama, dengan minimnya oposisi maka seluruh mekanisme yang terjadi dalam parlemen tentunya akan bisa ditebak. Apalagi komposisi yang cukup timpang menjadikan hasil putusan yang ada di parlemen dipastikan dapat mulus tanpa kendala.
Sementara perspektif kedua, ikwal minimnya oposisi juga menjadikan fungsi yang dibutuhkan untuk mewujudkan tatanan penyelenggaraan negara yang memberi kewenangan antar cabang kekuasaan negara dalam hal ini legislatif, eksekutif dan yudikatif untuk saling mengontrol dan menyeimbangankan pelaksanaan kekuasaannya masing-masing akan pupus.
Idealnya memang fungsi oposisi dapat menjadi pondasi kuat untuk pembangunan demokrasi ke arah yang lebih baik. Namun realitasnya jauh panggang dari api, sebabnya iklim oposisi yang terjadi di Indonesia tak seindah idealitas yang ada.
Mafhum ditemukan kelompok oposisi di Indonesia terlahir karena takdir politik. Mereka yang kalah dalam pesta demokrasi dan tidak memiliki ruang untuk di pemerintahan lebih memilh jalur ini. Pun diketahui masif tidak ada yang abadi dalam dunia politik, namun pentingnya membangun fungsi ini cukuplah penting.