Awalnya merasa aneh menikmati kudapan panas di siang hari yang terik saat makan siang di warung pinggir sawah yang tengah mengalami kekeringan musim kemarau. Bukan soal waktu yang kurang tepat, tapi soal taburan bawang goreng pada kudapan yang umumnya cenderung manis, namanya cemue. Kata penjualnya, ini makanan khas perdesaan Madiun yang amat diminati saat pagi, siang, ataupun malam.
Sawah yang menghampar luas di Desa Karangrejo, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun saat itu terlihat gersang. Tanah sawah retak-retak dan jaringan irigasi juga tak nampak sedikit pun air mengalir. Dan saat itu, saya tengah mencari makan siang di warung yang berjejer di pinggir sawah itu namun hanya satu yang buka dan hanya menjual jajanan, bukan nasi.
Aku pesan teh panas di warung kecil dengan atap asbes itu karena bingung harus makan apa di siang yang panas ini. Sambil berpikir, aku mengambil dan memakan weci yang baru diangkat dari wajan. Meski masih panas, aku memakan sedikit demi sedikit dan menikmati gurihnya makanan yang berbahan tepung dicampur irisan kubis dan wortel itu. Di rak dagangan ada beberapa toples plastik yang masing-masing berisi potongan roti tawar, kacang goreng, dan bawang goreng. Aku masih berpikir, warung ini jualan apa?
Aku bertanya apa ada makanan lain yang bisa dipesan? Ibu itu menjelaskan ada cemue dan aku pun pesan satu meski tidak mengerti jenis makanan seperti apa. Ia lalu mengambil mangkuk dan mengisi dengan potongan roti dan kacang goreng. Setelah itu menambahkan santan panas yang nampak mengepul dan selanjutnya memberi taburan bawang goreng. Aku mengernyitkan dahi dan berusaha menebak rasanya. Ternyata nikmat juga kudapan yang baru kukenal itu-- ada rasa manis, gurih, dan asin.
Cemue sebenarnya mirip dengan angsle, ada santan dan potongan roti. Tapi kalau ada kacang goreng, jika kuahnya bukan santan, tapi rebusan jahe, maka mengarah seperti ronde atau sekoteng. Namun, taburan bawang merah goreng itu membuat cemue seperti kudapan yang keluar dari pakem pada umumnya. Seperti kita ketahui, bawang merah goreng untuk menambah rasa sedap itu biasa ditaburkan untuk masakan seperti sup, mie kuah, dan bakso.
Meski bukan tempat yang jauh dan masih wilayah Jawa Timur, ternyata Madiun menyimpan banyak hal belum aku tahu. Selain wilayah Madiun Timur udaranya sejuk, bahkan dingin karena berada di lereng Gunung Wilis, ada juga makanan khas yang disebut nasi jotos. Makanan ini sama dengan nasi campur namun porsi dan harganya ekonomis dengan tambahan tempe goreng dan sambal.
Nama jotos itu tentunya tak berkaitan dengan Madiun yang disebut sebagai Kota Pendekar karena memiliki banyak perguruan pencak silat, tapi mungkin lebih pada harganya yang relatif murah. Karena harga terjangkau, siapa pun tidak ragu jika harus mentraktir teman saat duit terbatas, tapi dengan syarat jangan nambah kalau gak mau dijotos. Mungkin itu asal mula nama nasi jotos.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H