Sampai hari ini s aya tak hanyut hiruk pikuk pilpres. Saat ada kerja bakti di kampungku, muncul candaan serius soal siapa yang pantas jadi Presiden Indonesia VII. Ada yang menilai, Jokowi yang orang sipil dan "lamban" tak mungkin berani menghadapi negara lain yang agresif? Maka Prabowo lebih tepat, setidaknya, kata mereka, biar Malaysia atau negara tetangga lain tidak menyepelekan Indonesia. Bahkan ada yang nostalgia jaman Orde Baru bahwa pada jaman itu tidak ada yang bisa "memainkan" harga sembilan bahan pokok kebutuhan masyarakat. Kalau ada yang berani pasti berhadapan dengan tentara. Maka Jokowi jelas bukan orang yang tepat.
Sementara di kubu sebelah takut kalau Prabowo yang mantan militer itu jadi presiden karena Indonesia akan kembali jadi negara otoriter. Masyarakat tidak bisa lagi bersuara, berkumpul, diskusi bebas seperti sekarang, takut diciduk. Apalagi Prabowo dicap sebagai pelanggar Hak Asasi Manusia dan terlibat dalam penculikan para aktivis meski cerita kebenarannya belum jelas bagi masyarakat.
Mendengar pro kontra seperti itu, sa yamau bilang apa? Meski mereka cuma pengamat politik kelas kampung, setidaknya informasi dari televisi mampu membuka wawasan mereka. Dan saya tak mungkin melawan berita-berita televisi itu dan menyampaikan pendapat lain di suasana kerja bakti seperti itu. Untung, "debat capres" ala kampung ini tidak berujung pertengkaran.
Di mata banyak orang, pemaparan visi misi para capres dan gaya penampilan mereka sudah menunjukkan jati diri para kandidat calon presiden Indonesia VII ini dan akan 100% mengendalikan Indonesia. Sebagai eksekutif, memang sangat mungkin kepribadian itu berpengaruh pada keputusan-keputusan yang dikeluarkan. Karena itu, para kabinet dan lembaga-lembaga pemerintah harus muncul sebagai "kekuatan" yang bisa memberi pertimbangan-pertimbangan yang tepat bagi kelangsungan hidup negara.
Berdasar pengalaman selama ini, rakyat Indonesia memang pantas kuatir. Namun kalau mencermati kehidupan cara bernegara rakyat Indonesia saat ini, itu adalah hasil dinamika dialog rakyat Indonesia selama ini yang puncaknya pada era reformasi. Maka kita berharap, dinamika dialog ini tetap terpelihara agar Indonesia tetap utuh dan tumbuh sesuai cita-cita para pendiri bangsa, negara adil-makmur-sejahtera. Karena itu, satu satunya yang tidak boleh kita gadaikan adalah, KEBEBASAN BERSUARA.
Karangploso, 26 Juni 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H