Lihat ke Halaman Asli

Fardique Rudiyanto

Petani dan peternak

Seandainya Soekarno Tak Menceraikan Inggit

Diperbarui: 18 Juni 2015   08:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya mencoba untuk mengerti tulisan di rubrik seni, Kompas, Minggu, 11 Mei 2014, yang mengulas pementasan Happy Salma dalam monolog,”Inggit, Perempuan di Tepi Sejarah”.Betapa Inggit Garnasih sesungguhnya adalah juga aktor dalam panggung politik lahirnya bangsa Indonesia. Peran Inggit ini diakui pula oleh Ramadhan K.H dalam novel biografinya, “Kuantar Ke Pintu Gerbang”.

Meski punya peran “politik” bagi lahirnya Bangsa Indonesia, Inggit adalah nama yang sepi dari ingatan, apalagi bagi generasi muda saat ini.Terlebih, kita juga tidak menemukan namanya sebagai nama jalan, seperti: Sutan Syahrir, HOS Cokroaminoto, Sudirman, Dr Sutomo, TB Simatupang, atau Arif Rahman Hakim, pejuang lahirnya Orde Baru.

Dengan penambahan data sejarah perjalanan Soekarno semasa di penjara juga pengasingan oleh penulisnya, Aryo Wisanggeni G, pentas ini menjadi hidup bagi pembaca yang tidak menonton. Di sinilah tampak peran Inggit dalam mendukung perjuangan Soekarno untuk mengatakan ‘tidak’ terhadap kolonialisme dan imperialisme. Mendukung sikap Kusno, nama lain Soekarno, yang kaku ini jelas bukan perkara sederhana karena resikonya adalah kesulitan hidup, baik sebagai suami-istri (rumah tangga) maupun politik.

Ironisnya, ini yang nampak menjadi fokus akting Happy Salma, Inggit justru “tersingkir” saat bangsa Indonesia memetik buah perjuangannya yaitu Proklamasi 17 Agustus 1945. Ini akibat sikap Inggit yang tidak mau dimadu. Soekarno pun menceraikan Inggit lalu menikahi Fatmawati. Fragmen kisah ini termuat dalam buku “Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat”, Inggit mencium bau api asmara Soekarno kepada Fatmawati.

Saya pun berusaha memahami perasaan Happy Salma, ketidakadilan bagi perempuan. Apalagi ini bukan sekedar kisah rumah tangga, tetapi juga kisah tentang sebuah bangsa yaitu Indonesia. Inggit bukan cuma tersingkir dari kehidupan rumah tangga Soekarno, tetapi juga “terputus” dalam perjalanan sejarah Bangsa Indonesia.Penderitaan dan air mata saat mendampingi masa-masa sulit Soekarno untukmenggapai kemerdekaan Indonesia,justru ia tidak ter-ikut-kan saat Soekarno memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia, apalagi sampai menikmati kehidupan indah di istana negara.

Persoalan pecahnya kehidupan rumah tangga Soekarno-Inggit ini adalah hal egoisme Soekarno untuk memiliki anak dari darah dagingnya sendiri. Seperti diketahui, Soekarno dan Inggit memang tidak dikaruniai anak. Dan sayangnya, Inggit tidak mau dimadu. Maka ada sesuatu yang tersirat dari pentas monolog, “Inggit, Perempuan di Tepi Sejarah”, Happy Salma seakan ingin mengatakan, “Soekarno lupa pada masa-masa sulit yang pernah ia lalui bersama Inggit”.

Mungkin inilah problematik kita sebagai bangsa, bukan pribadi. Kita diperhadapkan pada pilihan sulit untuk menilai sikap Bung Karno. Seandainya Sang Proklamator ini tetap setia kepada Inggit dan tidak menikahi Fatmawati, saya tidak tahu seperti apa perjalanan sejarah bangsa Indonesia?

Seperti kita ketahui , dari pernikahan Soekarno-Fatmawati , salah satu keturunannya yaitu Megawati Soekarnoputri, melesat meneruskan perjuangan Soekarno untuk memimpin Indonesia. Di masa Orde Baru, Megawati, sebagai pewaris trah Soekarno, menjadi simbol perlawanan terhadap penguasa yangotoriter.

Lalu muncul jaman multi partai, masyarakat boleh membentuk partai politik, siapa pun bisa menjadi kepala desa, bupati, walikota, gubernur, bahkan presiden. Ini mustahil terjadi di jaman Orde Baru. Kelompok Megawati lalu memisahkan diri dari Partai Demokrasi Indonesia yang dilanda kemelut dan mendirikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Bersama partai-partaipolitik lain, PDIP membangun kehidupan politikIndonesia yang dinamis.

Itulah alur sejarah Soekarno dalam perjalanan Bangsa Indonesia. Maka, membaca paragraf akhir artikel ini, ” mangga Engkus, tetapi ceraikan aku terlebih dahulu”, ini adalah jawaban Inggit saat Soekarno meminta ijin hendak menikahi Fatimah, nama kecil Fatmawati. Kalimat ini seakan ungkapan cinta sejati Inggit Garnasih agar Soekarno tak henti berjuang bagi bangsa Indonesia. Sejarah pun mencatat, trah Soekarno selalu hadir peta politik Indonesia. Pun, ketika Joko Widodo ditunjuk sebagai calon presiden Republik Indonesia 1914-1919, tak lepas dari peran trah Soekarno.

Karangploso,26 Juni 2014




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline