Lihat ke Halaman Asli

Fardhie Hantary

Neo Sufism

Indonesia Tak Perlu Berbenah Lagi

Diperbarui: 19 Oktober 2015   06:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Indonesia tak perlu berbenah lagi, Indonesia tak membutuhkan gagasan, Indonesia adalah sebuah wilayah yang sudah jadi, teritorial yang telah berdiri sebelum mereka yang duduk di Pemerintahan saat ini, Indonesia adalah hasil persatuan dan kesatuan, Indonesia merupakan peninggalan yang harus di-jaga dan di-jalankan oleh orang yang memiliki feeling sama dengan para pendahulu, memiliki tekad menjaga dan memelihara wilayahnya dari segala unsur yang merugikan dan merusak kebersamaan yang telah di-bangun utuh oleh pejuang yang tak menuntut gaji dan jaminan sosial mereka dan keluarganya, semata-mata menjaga kesinambungan anak cucu untuk dapat hidup selayaknya makhluk yang di-berikan hak hidup.

Indonesia dan semua teritorial di-dalamnya sudah merdeka dan lepas dari cengkraman Negara yang ingin memecah belah persatuan dan kesatuan penduduknya yang teramat sangat luas yang multi kultural dan sangat di-cemaskan oleh Dunia apabila Indonesia dan seluruh rakyatnya bersatu dalam membangun dan menjaga wilayahnya. Indonesia dahulu dengan saat ini tetap sama, Indonesia saat di-bangun dan sesudah terbangun tetap masih di-dalam teritorialnya, tak ada wilayah yang di-rugikan, tak ada Negara lain yang pantas menuntutnya sebab Indonesia berdiri di-atas katulistiwa dan di-batas wilayah atau teritorialnya yang sudah sejak dari dulunya ada tanpa adanya Pemerintahan yang menjalankan. Indonesia bukan kumpulan satu ras melainkan berbagai macam etnis, Indonesia bukan individual semata melainkan pertemuan dan perkongsian watak, karakter. Indonesia sudah menjadi satu bangunan yang lengkap dan siap untuk di-tempati. Indonesia mampu melindungi rakyatnya, Indonesia sanggup menampung jutaan penduduk asli bahkan pendatang dan siapa saja manusia yang membutuhkan perlindungan.

Jika saja kita sadar akan hal ini sebenarnya tak perlu mencari kambing hitam, jika saja Pemerintah dan rakyat sering-sering bertemu menjalin emosional, merajut benang yang kusut, mendaur ulang untuk kepentingan bersama, menata yang acak untuk kembali teratur dan rapi, membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan Bangsa dan kemajuan rakyatnya, tanpa perantara pihak-pihak tertentu, tanpa via dalam mendengar dan menyampaikan aspirasi, pasti teratasi semua persoalan, pasti selesai semua yang terkendala, khusnya yang menyangkut Kedaulatan Rakyat dan Negaranya. Sebab banyak solusi teratasi ketika persoalan harus di-selesaikan tanpa perantara dan tak selamanya perantara mampu menyelesaikan persoalan yang sebenarnya bukan datang dari si-perantara melainkan dari yang di-perantaraian/jembatani, pengikut dan yang di-ikut, pemimpin dan yang di-pimpin, pemerintah dan rakyat.

Indonesia ini tak mungkin lepas dan bisa di-lepaskan dari wilayah-wilayah atau kamar-kamar yang ada di-dalam sebuah bangunan, walaupun dalam berjalannya masing-masing tersebut punya pintu dan ruang-ruangnya tersendiri yang harus di-ketahui, di-hargai dan di-jaga satu dengan yang lainnya. Sebenarnya yang di-sebut bangunan tidaklah harus memiliki kamar-kamar tetapi cukup hanya ruangan besar tempat berkumpul, kalaupun ada kamar paling hanya private room, bukan Kebersamaannya, Bukan kedudukannya, paling hanya tempat duduknya saja, Bukan kedudukannya, melainkan tanda pengenal saja. Tak ada beda dalam penilaian, yang berbeda dalam penglihatan, Tak membedakan warna kulitnya untuk memiliki hak dan kepentingannya sebagai makhluk, Singergis dan Simbiosis Mutualisme, bukan Parasitisme, juga bukan Komensalisme, harus saling bergantung dan membutuhkan.

Semua ini tak cukup hanya slogan Damai Indonesiaku, semua ini tak membutuhkan perantara, semua ini tak bisa hanya seorang diri saja, Kebersamaan menjadi patokan, bak pepatah yang pepatah tersebut telah patah tak bertumbuh, jangan berlama-lama ketika harus di-amalkan, jangan di-tunggu  yang akan datang, melainkan di-persiapkan untuk kedatangannya, Jangan di-tahan yang harus keluar, sebab bisa membahayakan yang akan mengeluarkan dan yang dikeluarkan, ibarat ibu yang harus segera melahirkan si-bayi. Jangan di-persoalkan sebuah urusan, sebab urusan tak perlu di-persoalkan, melainkan yaa di-urusi, Jangan di-urus yang bukan urusan, Tak perlu soal menjadi kendala, jawaban jua yang belum di-ketahui. Jangan takuti seorang anak ketika dia balajar berjalan, jangan di-larang saat ia  ingin mengaktualkan kaki dan seluruh tubuhnya. Orang tua hanya mengawal dan dan mengawasi si-bayi. Jangan di-rusak sarana bermainnya, jangan di-hancurkan yang telah ia tumbuhkan, jangan yang tumbuh hanya kemauan si-orang tua semata. Kesadaran jua yang belum di-miliki para generasi abad ini, untuk bisa senantiasa sejalan dengan cita-cita para leluhurnya.

Banyak orang hanya sekolahannya yang tinggi namun tak di-barengi mental spiritual yang bersih, di-lain pihak masih banyak saudara kita yang memiliki mental spiritual yang baik, namun ilmunya tak mencukupi untuk menjangkau dan menghadapi pergolakan dan perubahan zaman. Akhirul kalam: “Bebaskan fikiran dari kebodohan yang menjajah, Merdekakan belenggu kemiskin pada diri sendiri dan orang lain, Jangan turutkan campur tangan pihak luar atau budaya asing yang tak perlu mencemari bumi nusantara nan elok dengan multi kulturalnya”.

 

Salam untuk kita sesama makhluk yang telah di-pertemukan-Nya di-ardhun

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline