Rusia atau Uni Soviet bukan hanya terkenal dengan istana Kremlin atau Lapangan Merahnya saja. Banyak hal-hal menarik mulai dari tempat wisata, sejarah, politik, budaya, hingga karya seni yang khas dan tumbuh berkembang di negara beruang merah tersebut. Mungkin kita telah mengenal Matryoshka. sebagai karya seni asli Rusia yang telah muncul sejak era pra-Soviet. Namun bagaimana dengan karya-karya beraliran Realisme Sosial yang populer sejak era Soviet?
Tentu Anda pernah melihat entah di internet atau di mana pun itu, sebuah poster dengan corak warna yang pekat, biasanya didominasi warna merah (dan warna-warna hangat), menampilkan sebuah kepalan tangan kiri berotot atau sekumpulan pria dengan postur yang tegap terlihat seperti para buruh yang siap membangun, lalu patung-patung berupa dua orang pria dan wanita mengangkat tangan mereka yang mencengkeram kuat palu dan arit dan keduanya saling menyilang, atau ada pula lukisan seorang pria botak yang tengah berorasi di depan kerumunan orang dengan lusinan bendera merah berkibar di antara mereka. Itu semua adalah gaya dari aliran Realisme Sosialis. Aliran yang berkembang di negara-negara berhaluan marxisme-leninisme atau komunis pada awal abad ke 20. Diduga aliran ini telah berkembang sebelumnya di abad ke 19 dalam bentuk karya-karya sastra di Inggris, Jerman, dan Perancis. Selanjutnya aliran ini berkembang di Uni Soviet sejak 1934 yang diresmikan dalam suatu kongres pada saat itu. Salah satu pelopornya yaitu seniman bernama Maxim Gorky.
Gaya khas Realisme Sosialis menjadi aliran resmi yang diterapkan di Uni Soviet pada saat itu. Melalui media lukisan, patung, hingga poster, para seniman Rusia seperti Dmitry Moor, Iraklij Toidze, Aleksandr Gerasimov, hingga Vera Mukhina menampilkan karya-karya mereka entah dengan tujuan propaganda Partai Komunis Soviet ataupun sebagai ekspresi atas ide-ide utopis yang dijiwai oleh semangat revolusioner rakyat ala Marx. Aliran ini menjadi semakin ekstrem ketika para senimannya bersama elite negara ikut menentang gaya-gaya lain yang telah berkembang sebelumnya seperti Romantisme dan Abstrak yang mereka anggap sebagai seni yang "tidak jelas" atau "kontra-revolusioner". Kazimir Malevich, seorang pelukis abstrak terkenal di Rusia pada saat itu menjadi korbannya. Malevich dimusuhi oleh para seniman Realisme Sosialis. Menurut mereka, lukisan-lukisan bikinan Malevich hanya bisa dinikmati oleh sebagian orang saja dan sangat "tidak merakyat" dan terkesan ngawang-ngawang. Lihat saja karyanya yang berjudul "White on white" yang hanya menampilkan sebuah kotak putih di atas kotak putih. Atau "Black Square", sebuah kotak hitam, tok. Mereka lebih menyukai suatu seni yang menggambarkan kaum rakyat secara lebih nyata dan "revolusioner".
Begitu juga ketika aliran ini masuk dan berkembang Di Indonesia. Lekra, yang merupakan organisasi seni yang berafiliasi dengan PKI menyerukan gerakan "seni untuk rakyat" yang berarti bahwa seni adalah berasal dari realitas dan cita-cita rakyat serta harus dapat diterima oleh semua kalangan rakyat di mana ini merupakan landasan utama dalam Realisme Sosialis (yang di Indonesia saat itu lebih dikenal sebagai Realisme Kerakyatan). Para seniman seperti HB Jassin, Trisno Sumandjo, Ras Siregar, hingga Taufiq Ismail Membentuk Manifes Kebudayaan atau Manikebu sebagai bentuk protes terhadap Lekra yang terkenal dengan tokoh-tokohnya seperti Rivai Apin, Hersri Setiawan, hingga Pramoedya Ananta Toer. Manikebu dimaksudkan mengembalikan seni sebagaimana hakikat asalnya yaitu "seni untuk seni" dan tidak terikat dengan apapun termasuk politik. Konflik kedua golongan ini berlangsung dari tahun 1950 hingga 1965. Presiden Ir. Soekarno yang saat itu dekat dengan PKI dan negara-negara blok timur ikut membela Lekra dan menyerang Manikebu dengan menghinanya sebagai "Mani Kebo" atau "Sperma Kerbau". Konflik ini berakhir setidaknya sejak 1966 ketika PKI dan organisasi yang berafiliasi semuanya dibubarkan, termasuk Lekra.
Di Indonesia, aliran Realisme Sosialis sebenarnya telah berkembang lama setidaknya menjadi populer semenjak Pramoedya Ananta Toer menulis karya sastranya seperti Bumi Manusia, Jejak Langkah, dan Mangir yang erat kaitannya dengan kehidupan rakyat, kritik sosial, hingga bentuk protes terhadap penguasa, kolonial, dan kapitalis. Karyanya dianggap "revolusioner" dan masih bertahan hingga kini. Adapun dalam lukisan misalnya dikenal Amrus Natalsya dengan lukisannya yang terkenal dinamai "Kawan-kawanku" serta karyanya yang lain berupa seni pahatan kayu.
Jejak Realisme Sosial di Indonesia juga bisa kita lihat di patung-patung terkenal di kota Jakarta seperti Patung Selamat Datang rancangan Henk Ngantung, Patung Dirgantara karya Edhi Sunarso, hingga Tugu Tani bikinan Matvey dan Ossip Manizer. Semuanya adalah hasil inspirasi dari patung-patung ala komunis di Rusia seperti karya-karya Vera Mukhina.
Negara-negara kiri komunis non-Soviet seperti Tiongkok, Vietnam, hingga Korea Utara masih melestarikan gaya seni ini walaupun dalam tingkatan yang tidak begitu masif. Utamanya sebagai bentuk propaganda oleh pemerintah Komunis di sana. Selain itu, gaya ini juga dipakai oleh para kaum kiri baru sebagai identitas mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H