Lihat ke Halaman Asli

Hentikan "Merasa" Jujur

Diperbarui: 2 Januari 2016   13:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kejujuran lebih baik daripada “merasa” jujur

“Berkatalah jujur walaupun pahit” sering terdengar ditelinga banyak orang, namun hanya sedikit yg memahami makna tersebut. Faktanya banyak orang yg “merasa” jujur namun tak sepenuhnya mereka jujur, ada sebuah cerita dari seorang  teman  bekerja di perusahaan swasta di daerah Malang. Dia bercerita ada seorang temannya di pecat karena diduga melakukan korupsi, padahal dirinya tak merasa melakukan hal itu. Temannya itu seorang bekerja sebagai distributor, yang membawahi beberapa agen dan sales. Setelah di telisik  ternyata penyimpangan yg dilakukan para bawahan yaitu bermain harga sehingga laporan yang dibuat tak sesuai dengan terjadi dilapangan. Mereka (agen dan sales) berdalih dengan masalah ekonomi keluarga yang menimpa mereka. Namun dalih mereka bukan akar dari masalah tersebut tetapi ada alasan yg lebih krusial sehingga membuat mereka berani melakukan hal tersebut, yaitu meremehkan dalam hal kejujuran. Acap kali terdengar kata-kata dari seorang kolega “Cuma sedikit saja”,  “ini sering di lakukan oleh semua orang..”, “ini sudah biasa kok..”, “jangan khawatir kamu tidak sendirian melakukan hal itu..” dan sebagainya, secara tidak sadar pikiran kita ter-doktrin oleh kata-kata tersebut sehingga timbul rasa tidak sadar bahwa itu adalah kesalahan yang fatal. Sehingga mereka “merasa” melakukan kejujuran walaupun tak sepenuhnya jujur. Tak dapat di pungkiri hal tersebut cikal bakal terjadinya korupsi, yang nominalnya lebih “besar” daripada bermain “harga” ala agen dan para sales.

Kita lupa bahkan terkesan melupakan hal semestinya anak cucu kita akan dihadapkan pada hal tersebut. Jujur memang berat dilakukan walaupun mudah untuk mengatakannya. Rasanya salah satu benteng untuk menangkal hal tersebut selain kesadaran diri dari terhadap hal itu, adalah agama. Didalam agama sudah ada rambu-rambu yang memagari hal tersebut. Entah itu di bidang akhlak (tata karma/adab) ataupun muamalah (transaksi jual-beli) sebagai dasar. Dalam islam akhlak berada di nomor satu sebelum ilmu dan ‘amal (perilaku). Sebab akhlak atau adab adalah alat untuk mengontrol ilmu dan ‘amal. Rasanya pesantren adalah jawabannya dari hal tersebut.

Kita sepakat bahwa perilaku ke-tidak jujur-an adalah hal yg tidak baik atau perilaku tercela Tapi anehnya banyak orang yg meninggalkan hal tersebut. Mereka lebih memilih menyekolahkan anaknya ke universitas terbaik, terbagus dan sebagainya dengan beralasan agar anaknya bisa bekerja dan bergaji tinggi. Mereka lupa dengan posisi agama di kehidupan, mereka lupa ada kehidupan lain yg menunggu setelah kehidupan ini, dimana semua akan di pertanggung jawabkan.

Wallahu a’lam.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline