Lihat ke Halaman Asli

Fardan Mubtasir

Human, Culture, and Society

Tetesan Tinta Harapan

Diperbarui: 22 September 2024   14:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi tetesan tinta. sumber: pinterest.com/myglobetrotting/

"Selamat kepada Otto atas bukunya yang menjadi bestseller selama beberapa tahun terakhir!" ujar pembawa acara berita pagi di TV.

Leo, yang sejak tadi duduk di depan layar, merasa tak nyaman dan seolah setengah penghuni panti asuhan mengelilinginya.

"Wow, akhirnya si Leo yang pendiam dan penyendiri beralih dari 'buku sihir' nya untuk menonton televisi," kata Tasya dengan nada menggoda, membuat anak-anak lain tertawa.

"Sudahlah, Tasya, jangan buat pagiku tambah buruk dan sekali lagi, bukuku itu bukan buku sihir," jawab Leo dengan kesal, hanya disambut tawa oleh Tasya.

Ada sedikit kebenaran dalam kata-kata Tasya, kecuali soal "buku sihir". Leo memang jarang menonton televisi, bisa dihitung dengan jari. Ia lebih suka menyendiri di tempat tenang, seperti di taman panti, menikmati angin sepoi-sepoi sambil menuliskan imajinasinya di buku. Kombinasi sempurna bagi Leo.

"Tunggu, apa ini?" Sebuah kertas terbang mengenai wajahnya.

"Lomba Menulis Cerpen Tingkat Nasional," itu yang pertama kali dibacanya.

"Apa ini, Leo? Kamu mau ikut lomba?" tanya Ibu Maryam, pengurus panti, sambil kebingungan.

"Bu, ini bukan sekadar lomba, ini tingkat nasional! Pasti pesertanya banyak sekali," jawab Leo penuh semangat.

"Tapi lomba ini di luar kota, Leo. Kamu yakin?" Ibu Maryam tampak ragu.

"Bu, kalau aku tidak yakin, aku tak akan minta izin sekarang," jawab Leo dengan mantap. Izin pun ia dapat.

Setelah perjalanan panjang, Leo tiba di lokasi lomba. Selama dua jam ia berkutat dengan rasa takut dan berbagai pikiran negatif.

"Bagaimana kalau aku kalah? Apa ibu panti akan kecewa? Apakah tulisanku cukup bagus?" Namun Tuhan mendengar doanya.

Tak pernah terpikirkan olehnya bahwa ia akan berdiri di panggung, menerima piala dan sertifikat sebagai juara pertama dan itu adalah hari paling bahagia dalam hidupnya. Leo merasa bahwa mimpinya mulai terwujud. Saat meninggalkan gedung perlombaan, seorang pria tua memanggilnya.

"Leo, ya?" tanya pria itu, yang ternyata adalah salah satu juri.

"Benar, Pak. Apakah saya meninggalkan sesuatu?" tanya Leo memastikan.

"Bukan. Saya ingin menawarkan kesempatan besar untukmu. Tulisanmu luar biasa, dan saya rasa kamu harus terus mengembangkan bakatmu," jawab juri itu sambil tersenyum.

Leo sangat tergiur dengan tawaran itu. Namun, bagaimana dengan Ibu Maryam? Ia pasti marah jika Leo tidak pulang tanpa kabar. Leo menulis surat dan mengirimnya lewat pos, berharap cepat sampai. Di malam hari, Leo diberi tumpangan dan tempat menginap di rumah Otto, seorang penulis terkenal yang ternyata adalah pria yang tadi dilihatnya di TV. Mereka berbicara sedikit, dan Otto hanya mengingatkan Leo agar bersiap untuk kontes berikutnya keesokan sore. Hari berikutnya, meski gugup, Leo berusaha melakukan yang terbaik. Namun, kali ini hasilnya tak seperti yang diharapkan. Ia gagal. Perasaannya campur aduk antara kecewa, marah, dan menyesal. Otto menenangkan Leo.

"Jangan terlalu keras pada dirimu. Ini baru awal. Selama kita punya mimpi, kita harus terus berusaha." Meski begitu, rasa kecewa itu masih menyelimuti hati Leo.

Sejak saat itu, Otto semakin sering membimbing Leo dalam menulis. Topik mereka sehari-hari hanya soal menulis. Meski rindu pada panti asuhan, Leo berusaha fokus belajar dari kesalahannya dan terus menulis. Beberapa hari kemudian, Otto jatuh sakit. Leo cemas, tetapi Henry, asisten Otto, memastikan bahwa Otto hanya perlu istirahat. Namun, Leo tetap harus berangkat ke kontes hari itu, meski pikirannya kacau.

Kontes hari itu selesai dengan Leo yang masih merasa takut. Di tengah hujan gerimis, ia mengenang Otto dan lomba pertamanya, penuh kebahagiaan saat menerima piala dari Otto. 10 tahun setelah Otto meninggal, Leo akhirnya sukses menjadi penulis dengan nama pena Abhipraya. Hari itu, di sebuah acara televisi, Leo berbicara tentang arti dari nama pena itu, yang berarti "cita-cita".

"Cita-cita adalah tujuan hidup kita. Sekecil apapun, tangkaplah mimpimu," ujar Leo dengan tenang.

Kini, dia adalah Leo yang sudah berhasil mengatasi ketakutannya dan membuka lembaran baru.

Cr: Nadia Afrina Rambe

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline