Lihat ke Halaman Asli

Tentang Gus Dur

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Gus Dur, Pahlawan Perdamaian Umat

Muh. Fardan N

Tidak penting apa pun agama mu atau suku mu , kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agama mu ( K. H. Abdurrahman Wahid)

Awal

Kemerdekaan bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari perjuangan para pahlawan bangsa ini yang gigih memperjuangkan kemerdekaan. Mereka berjuang melawan cengkraman kolonialisme yang jauh dari nilai keadilan dan persamaan. Di negeri ini, meski telah lama menasbihkan diri sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat. Namun, keadilan dan persamaan bagi seluruh elemen bangsa belumlah terpenuhi bahkan masih jauh dari yang diharapkan.

Meski demikian, tetap saja masih ada sosok yang masih peduli dengan ketimpangan sosial yang terjadi pada bangsa yang tercinta ini. Ialah Abdurrahman Wahid seorang bapak bangsa yang lahir pada 07 September 1940 di Jombang, Jawa Timur. Dibesarkan dari sebuah lingkungan yang kental dengan tradisi pesantren dan pengetahuan agama yang mendalam. Beliau tumbuh menjadi tokoh yang berani membela sesuatu yang dianggapnya bertentangan dengan nilai keadilan dan kebenaran.

Pahlawan Perdamaian

Sosok Gus Dur yang sederhana dalam penampilan keseharian nya. Namun, begitu cerdas dalam menyebarkan ide dan gagasannya. Merupakan sosok yang terbilang langka di negeri ini. Seorang intelektual yang begitu dekat masyarakatnya, bukan hanya dengan “komunitas pesantren” tempat beliau lahir dan dibesarkan dalam lingkungan Islam khas pesantren yang mempunyai kultur yang mengakar dengan masyarakat. Gitu aja kok repot !!!!!! demikian kata yang sering diucapkan oleh beliau ketika menyampaikan pesan-pesan damai kepada umat. Pesan-pesan beliau begitu sederhana, begitu cair dan mengalir.

Sosok intelektual dan cendekiawan yang terpotret dalam perilaku dan keseharian Gus Dur boleh dikatakan sebagai seorang ‘Intelektual Organik’. Seperti yang dipaparkan oleh Antonio Gramsci bahwa ‘intelektual Organik’ merupakan intelektual yang bertindak sebagai pemikir dan artikulator dari kepentingan-kepentingan kelas yang sedang tumbuh (khususnya kaum minoritas). Kelas yang sedang tumbuh inilah yang merupakan minoritas yang terkadang mendapatkan perlakukan yang tidak adil dan diskriminatif. Nah, disinilah kehadiran seorang Gus Dur sebagai seorang ulama (intelektual) memberi warna bagi kehidupan keumatan dan kebangsaan. Meski oleh sebagian kalangan dianggap sebagai tokoh yang kontroversial. Namun, beliau senantiasa menunjukkan konsistensi nya dalam membela hak-hak kaum minoritas yang dalam beberapa hal mendapatkan perlakuan yang diskriminatif.

Seperti yang dialami oleh kaum minoritas Tionghoa di Indonesia yang pada masa rezim pemerintahan Soeharto mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dalam pemenuhan haknya sebagai warga negara yang berhak menjalankan ritual keagamaannya. Pada masa pemerintahan Gus Dur lah sebagai presiden sehingga agama Konghucu dengan resmi diakui sebagai ajaran kepercayaan di Indonesia. Sikap ini merupakan bentuk keberpihakan beliau terhadap keadilan yang mesti dirasakan juga oleh sesama umat manusia untuk memeluk dan menjalankan kepercayaan yang dianut.

Ada salah satu buku yang pernah ditulis oleh Almarhum Gus Dur. Bagi saya buku ini cukup menarik, judulnya “Tuhan Tak Perlu Dibela” dalam buku yang berisi kumpulan esai yang ditulis oleh Almarhum ini, pada intinya memberikan kita semacam pesan bahwa yang seharusnya dibela adalah manusia. Manusia lah sebagai umat Tuhan yang lebih berhak untuk dibela. Tidak mengenal agama, suku, ras maupun identitas lain yang melekat pada dirinya. Karena, membela manusia dari ketidakadilan dan tindakan diskriminasi adalah wujud dari tegaknya nilai-nilai Islam secara substantif.

Pemersatu Umat

Sosok Gus Dur memang begitu fenomenal dalam mewarnai perjalanan umat dan bangsa ini. Sebagai seorang tokoh publik yang kerap dianggap “nyeleneh”. Sebenarnya ada pesan kuat yang ingin disampaikan beliau dari sikap nya yang sangat berpihak kepada kepentingan golongan lemah.

Bahwa Indonesia sebagai negara bangsa (nation-state) yang dihuni oleh berbagai golongan dan elemen umat beragama yang sangat plural. Memberikan sebuah warna tersendiri bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di republik ini. Potensi tersebut dapat memberikan dampak positif bagi kemajuan bangsa. Namun, potensi tersebut dapat menjadi malapetaka yang berujung menjadi konflik yang laten bagi bangsa ini jika tidak direkatkan dengan sebuah pandangan yang terbuka (inklusif) dan sikap toleran. Hal inilah yang menjadi fokus beliau sebagai sosok pemersatu umat untuk mempererat hubungan seluruh elemen umat dan bangsa agar tetap kokoh.

Sikap Gus Dur dalam membela hak-hak kaum minoritas merupakan kerja-kerja kemanusiaan dalam menegakkan perdamaian di negeri ini. Karena sebuah perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi. Maka dari itu, beliau dengan perjuangan nya senantiasa menyuarakan suara kebenaran dan keadilan tanpa pandang bulu. Sikap beliau yang sangat toleran dan anti diskriminatif inilah yang membuat beliau memang sangat layak diberikan gelar “Pahlawan Perdamaian Umat”. Pahlawan yang berjuang membela kebenaran dan melawan ketidakadilan tidak dengan jalan kekerasan. Amar ma’ruf nahi munkar bil ma’ruf, menegakkan yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran dengan jalan ma’ruf (perdamaian) bukan dengan jalan kemungkaran (kekerasan) yang mengatasnamakan otoritas agama. Berkat perjuangan beliau lah umat beragama dapat bergandengan tangan di tengah keragaman.

Akhir

Ketika berita duka atas kepergian beliau, semua merasakan telah kehilangan tokoh penting yang lahir dari bangsa ini. Beliau merupakan potret seorang muslim yang menjadi rahmatan lil-alamin. Tak hanya umat Islam, kalangan pesantren, warga NU, yang merasakan kehilangan atas kepergian beliau. Akan tetapi, seluruh elemen bangsa ini juga ikut merasakan kehilangan atas kepergian beliau. 31 Desember 2009 lalu sang ‘Pahlawan Perdamaian Umat’ itu telah meninggalkan kita. Meninggalkan umat dan bangsa nya yang telah terpuruk oleh berbagai krisis multi dimensi yang melandanya. Namun, tak sekali pun beliau menampakkan sikap pesimis dan apatis dalam melihat kondisi tersebut. Untuk mengenang harlah beliau dan menjelang 4 tahun pasca wafat-nya sang pahlawan perdamaian. Tentu spirit yang ditularkan oleh beliau tak boleh pudar begitu saja seiring dengan kepergian jasad beliau meninggalkan kita.

Pemikiran brilian seorang ulama sekaligus bapak bangsa ini tak hanya harus dikenang dalam bentuk perayaan peringatan untuk memperingati kelahiran beliau setiap tahun-nya. Namun, yang lebih diutamakan adalah bagaimana membumikan pemikiran-pemikiran beliau dalam kehidupan keseharian kita. Pemikiran beliau yang menyentuh aspek keagamaan, kebangsaan, sosial-kemasyarakan, toleransi antar umat beragama, hingga keberpihakan beliau kepada kaum marjinal di negeri ini seyogyanya dapat dijadikan sebagai spirit dalam membangun transformasi sosial dalam masyarakat Indonesia yang majemuk.

Utamanya para pemuda bangsa yang hingga hari ini kehilangan keteladanan. Maka sosok Gus Dur lewat pemikiran-pemikiran beliau hadir menyapa kita. Mungkin dengan sindiran, ataukah lewat leluconnya yang khas. Pemikiran beliau yang humanis dan anti kekerasan kini semakin relevan dalam menjawab problem yang melanda bangsa ini. Apalagi dengan maraknya kasus tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama. Sudah sepatutnya kita melakukan penyadaran kepada masyarakat untuk lebih terbuka dan toleran terhadap keberagaman yang menjadi ciri khas dari bangsa ini. Saya kira sosok Gus Dur adalah sosok yang patut dijadikan sebagai teladan bagi kaum muda untuk berani tampil sebagai pembawa panji-panji kebenaran dan keadilan bagi tegaknya kehidupan umat dan bangsa ini. (*)

#GituAjaKokRepott!!!!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline