Lihat ke Halaman Asli

Pintu Ketahanan Keluarga Itu Bernama Ibu

Diperbarui: 8 Maret 2021   19:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Jika ingin merusak sebuah keluarga, maka rusaklah terlebih dahulu Ibunya. Beri Ia perasaan lelah. Jika sudah lelah ambil rasa syukurnya. Biarkan Ia merasa hidupnya habis untuk mengurus keluarga. Setelah kau ambil rasa syukurnya, buatlah Ia tidak percaya diri ketika melihat dan membandingkan kebahagiaan orang lain dengan miliknya. 

Jika itu sudah terjadi, ambil juga rasa sabarnya. Buat Ia merasa ada banyak hal berantakan dan masalah yang terjadi dalam rumahnya, yang timbul dari anak-anak dan suaminya. Goda lisannya untuk berkata kasar, hingga anak-anaknya mencontoh dan tidak menghargainya lagi. Hingga bertambahlah kemarahan demi kemarahan dan hilanglah aura surga dalam rumah. Dan perlahan akan kau dapati rumah itu rusak, dari pintu seorang Ibu."

Begitulah kurang lebih ilustrasi percakapan antara Iblis dengan Syaitan. Sungguh mereka adalah musuh nyata bagi kita umat manusia. Maka perkokohlah benteng-benteng keimanan untuk mengagalkan misi penghancuran itu, salah satunya melalui ketahanan keluarga. Marilah kita mulai pembahasan ini dari mulai dasar.

Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat, terdiri dari Ayah, Ibu serta anak-anak. Meskipun menjadi lembaga sosial terkecil, namun keluarga turut menjadi modal dasar dan utama yang menunjang pembangunan nasional. Dikarenakan melalui keluargalah, pendidikan pertama kali diperkenalkan. Banyak peranan yang dijalankan oleh keluarga, baik pemenuhan kebutuhan lahiriah maupun batiniah.

Maka keluarga dapat dikatakan harmonis, bila komponen di dalamnya dapat menjalankan peran dan fungsinya dengan optimal. Tersebab tiap anggota keluarga pada hakikatnya saling ketergantungan untuk bisa mencapai kesejahteraan. 

Oleh karena itu idealnya membangun keluarga jangan hanya sebatas menjadikannya sakinah, mawaddah warahmah, tapi harus bisa bahu-membahu agar dapat sehidup -- sesurga. Bahkan anjuran ini sudah dituliskan dalam ayat Al Quran yakni QS At Tahrim ayat 6 yang sebagian artinya berbunyi, "Peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka..."

Seorang ayah / suami memang menyandang status sebagai pemimpin / kepala rumah tangga. Namun dalam segi pengelolaan urusan rumah, seorang ibu / istrilah yang mengemban tugas dan peran krusial. Karena sejatinya ada wanita hebat di belakang pria yang sukses, pun ada ibu yang hebat dibalik keberhasilan seorang anak. Ingat kembali dalil Al Ummu Madrasatul Ula, yang artinya Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anak.

Tak heran isu-isu mengenai ketahanan keluarga akan lebih banyak menyoroti dari sisi perempuan.  Aura seorang ibu / istri ibarat nyawa bagi sebuah rumah. Contoh sederhana saja, jika seorang Ibu / istri sakit, maka seisi rumah merasakan dampaknya. Ayah / suami terabaikan, anak-anak terlantar, keadaan rumah pun bisa jadi ikut berantakan. Maka tak sedikit Ibu / istri yang tak bahagia menjadi awal rapuhnya ketahanan keluarga.

Ketidakharmonisan, saling lepas tanggung jawab, miscommunication, KDRT hingga berujung perceraian, menjadi faktor pemicunya. Di samping ancaman faktor eksternal seperti kemiskinan, kurang terjaminnya akses pendidikan dan kesehatan, lunturnya integrasi sosial, hingga yang tengah menjadi momok saat ini, yaitu pandemi Covid 19. Di samping dampak positif yaitu berkembangnya ilmu pengetahuan dari segi riset dan teknologi serta adaptasi kebiasaan baru yang positif, ternyata pandemi ini punya dampak negatif yang jauh lebih besar kita rasakan.

Di dalam UU Tentang Ketahanan Keluarga Pasal 5 ayat 2, dituliskan mengenai 4 komponen ketahanan keluarga, yakni ketahanan mental-spiritual, ketahanan fisik-ekonomi, ketahanan sosial (berkaitan dengan komunikasi dan komitmen) serta ketahanan psikologis (berkaitan dengan pengelolaan emosi). 

Keempat pilar ini nyatanya di masa pandemi Covid 19 mulai tergerus sedikit demi sedikit. Itulah mengapa isu ketahanan keluarga menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Ketika anak-anak mulai terbatas untuk bersekolah, sulitnya beribadah maksimal, ancaman pengangguran, maraknya perceraian, rentannya kesehatan mental hingga kematian mulai menyambangi teras depan rumah kita. Lantas langkah apa yang harus kita ambil ?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline