Objektifikasi tubuh perempuan terjadi tak hanya pada luar jaringan tapi kini telah menjelma ke dalam ruang digital. Hal itu tentu berdampak pada perempuan yang harus selalu waspada. Tidak jarang korban atas pelecehan seksual justru yang disalahkan atas cara mereka berpakaian, berbicara, maupun membawa dirinya. Mungkin kita sering mendengar atau membaca bahwa langkah-langkah mencegah revenge porn ialah dengan menjaga video privatmu agar tidak memberikan ke siapa pun atau menjaga wajahmu agar tidak kelihatan ketika memberikan foto syur ke pacar. Menganggap korban salah karena sembrono mengambil gambar telanjang sama saja dengan perilaku victim blaming. Pusat kesalahan selalu diletakkan pada korban, padahal yang seharusnya dipermasalahkan adalah si pelaku yang menyebarkan konten tersebut karena wewenang si korban telah diambil. Masalah revenge porn bukan hanya berfokus pada masalah penyebaran gambar atau video intim di dunia digital atau cyberspace, akan tetapi masalah didalamnya juga terdapat kontrol perempuan terhadap tubuh mereka yang direnggut dan dipaksa hidup sebagai property komunal. Menyebarnya foto atau video syur privasi di ruang digital yang jejaknya tidak akan hilang menyebabkan risiko kesehatan mental yang buruk. Para penyintas akan mengalami PTSD (post traumatic stress disorder), serangan kecemasan, dan depresi.
Pemerintah seharusnya memperioritaskan instrument hukum yang melindungi pengguna, khususnya perempuan yang rentan menjadi korban KBGO, dengan mengesahkan RUU Pungka (Penghapusan Kekerasan Seksual) dan PDP (Perlindungan Data Pribadi). Selanjutnya perlunya terobosan hukum untuk mengoreksi maupun menciptakan perangkat hukum baru yang dapat mewujudkan keadilan dan kesetaraan kemampuan aparat hukum dalam menangani kasus-kasus tersebut. Ada beberapa pasal yang digunakan dalam kasus kekerasan berbasis gender online yaitu UU ITE Pasal 27 ayat (1) mengatur larangan mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat diaksesnya informasi atau dikumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan, dan UU Pornografi Pasal 4 ayat (1) mengatur larangan perbuatan memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjuaibelikan, menyewakan atau menyediakan pornografi. Pada faktanya masih banyak pelaku yang tidak jera dengan hukuman yang diberikan tidak sebanding dengan dampak yang terjadi pada penyintasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H