EXECUTIVE SUMMARY
Indonesia tercatat sebagai negara ketiga terbesar dalam hal jumlah populasi perokok pada 2008. Salah satu upaya untuk menanggulangi tingginya angka perokok adalah menciptakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Namun, hadirnya Kawasan Tanpa Rokok (KTR) tak serta merta langsung berdampak pada menurunnya jumlah populasi perokok di Indonesia. Tidak adanya kesadaran masyarakat, peraturan yang kurang jelas, serta pemberlakuan sanksi yang kurang mengikat menyebabkan implementasi Kebijakan KTR masih dianggap kurang berjalan secara efektif. Oleh karena itu, bersamaan dengan disusunnya tulisan ini akan diusulkan empat rekomendasi antara lain memperkuat peraturan perundang-undangan, memberlakukan peraturan mulai dari tingkat daerah, Pembuatan dan penerapan SOP yang konsisten, serta membentuk satuan tim khusus pada tingkat daerah.
PENDAHULUAN
Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau (rokok). Dalam UU Kesehatan Nomor 36/2009 secara tegas dinyatakan bahwa pemerintah daerah wajib menetapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di wilayahnya. Namun, saat ini, dari 497 kabupaten/kota yang ada di Indonesia, hanya sebagian kecil (22 kabupaten/kota) yang telah menerapkan perda terkait KTR.
Peraturan bersama antara Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri dituangkan dalam Surat No. 188/MENKES/PB/I/2011 dan No. 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok. Peraturan bersama ini sebenarnya sudah menyebutkan adanya sanksi bagi pihak pelanggar, namun masih perlu diperkuat dengan petunjuk operasional dan konsistensi implementasinya dilapangan. Kebijakan dalam pengendalian bahaya rokok bagi Kesehatan masyarakat di Indonesia masih menjadi isu yang menarik untuk diperdebatkan. Isu tersebut mulai dari hak asasi seorang perokok dan bukan perokok, dampak perokok di tempat umum, hingga dampak rokok bagi perekonomian di Indonesia.
KEBIJAKAN KAWASAN TANPA ROKOK DAN IMPLIKASINYA
Sejak tahun 1970 hingga tahun 2000, konsumsi rokok di Indonesia meningkat 7 kali lipat dari sekitar 33 milyar batang. Dalam kurun waktu 2005 hingga 2008 terjadi peningkatan tajam konsumsi rokok, yaitu 214 milyar di tahun 2005 hingga menjadi 240 milyar batang di tahun 2008. Laporan WHO di tahun 2008 menempatkan Indonesia sebagai negara ketiga terbesar dalam hal jumlah populasi perokok. Dari berbagai literature disebutkan bahwa resiko merokok pada wanita adalah terjadinya penurunan atau penundaan kemampuan hamil.
Data Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa 169 juta penduduk terpapar sebagai perokok pasif dan 40,5% populasi semua umur (91 juta) terpapar asap rokok dalam rumah, dan setengah dari jumlah tersebut adalah anak – anak. Data lain dari GYTS 2009 memperlihatkan bahwa seperempat dari siswa terpapar rokok ditempat umum.
Ada beberapa upaya yang dilakukan secara parsial oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun lembaga lain untuk menekan jumlah perokok salah satunya adalah dengan adanya Kawasan Tanpa Rokok (KTR). KTR adalah ruangan atau arena yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan produksi, penjualan, iklan, promosi, ataupun penggunaan rokok. Amanat Undang – Undang Kesehatan No 36 tahun 2009 pasal 115 menetapkan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Pemerintah Daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya. KTR merupakan tanggung jawab seluruh komponen bangsa, baik individu, masyarakat, parlemen, maupun pemerintah untuk melindungi generasi sekarang maupun yang akan datang. Komitmen bersama dari berbagai elemen akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan KTR. Yang termasuk dalam Kawasan Tanpa Rokok antara lain fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, dan tempat umum serta kawasan lain yang ditetapkan. Hanya Undang-Undang atau PERDA KTR yang dapat memberikan perlindungan hukum bagi bukan perokok terhadap paparan asap rokok orang lain.
Saat ini kebijakan larangan merokok di tempat umum di Indonesia menjadi kebijakan daerah, meskipun belum semua daerah sudah membuat kebijakan ini. Hanya ada 23 wilayah yang sudah membuat peraturan tentang KTR. Ada pula beberapa kabupaten kota yang membuat semacam peraturan dari walikota atau bupati, namun hal ini belum terlalu kuat dalam penerapan sanksi dan juga implementasinya. Salah satu terobosan penting yang dilakukan oleh pemerintah baru-baru ini adalah perumusan MOU (memorandum of understanding) antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan yang menekankan pemberlakuan Kawasan Tanpa Rokok. Peraturan bersama antara Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri dituangkan dalam Surat No. 188/MENKES/PB/I/2011 dan No. 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok. Peraturan bersama ini sebenarnya sudah menyebutkan adanya sanksi bagi pihak pelanggar, namun masih perlu diperkuat dengan petunjuk operasional dan konsistensi implementasinya dilapangan. Berbeda dengan Peraturan Perda KTR sudah sangat detil dalam perangkatnya, namun lemah dalam penegakkan (implementasi) dikarenakan belum adanya sanksi yang bersifat mengikat.
REKOMENDASI
- Memperkuat peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Kawasan Tanpa Rokok. Pemerintah juga sebaiknya melakukan kajian lebih mendalam mengenai Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok.
- Memberlakukan peraturan mulai dari tingkat daerah, Penerapan peraturan yang berasal dari tingkat daerah lebih mudah dan dapat diterima masyarakat dibandingkan dengan tingkat nasional. Masih lemahnya aturan pengendalian rokok pada tingkat nasional hendaknya dapat direspon oleh pemerintah daerah (kabupaten/kota).
- Pelaksanaan Peraturan Daerah di Provinsi dan kabupaten tidak akan efektif tanpa dibarengi dengan pembuatan Standar Operating Procedure (SOP) dan konsistensi implementasi di lapangan. Untuk memastikan pelaksanaan KTR dapat dilaksanakan, sebaiknya Perda juga diikuti penerapan SOP.
- Membentuk satuan tim khusus pada tingkat daerah untuk memastikan efektivitas implementasi KTR.