Forever can never be long enough for me. To feel like I've had enough with you. Forget the world now, we won't let them see. But there's one thing left to do.
"Marry Me" -- Train -
"Maukah kamu menikah denganku, Zoya?"
Pertanyaan itu terdengar seperti halilintar yang menyambar ribuan saraf tubuhku, aku terbujur kaku. Adrian adalah sosok yang kucintai sejak 5 tahun yang lalu, namun hubungan kita baru berjalan satu tahun.
Ya, aku bertepuk sebelah tangan sebelumnya. Butiran -- butiran air berebut untuk keluar dari mata. Dengan hati yang sedang berloncat -- loncat, aku menatap matanya dan mengatakan "Dengan senang hati". Jawaban itu mampu melukis senyum di bibir Adrian dengan manis. Suasana seakan berubah menjadi hening dan meninggalkan dua orang yang hatinya saling berdesir. Aku menatap calon suamiku.
Itu adalah kejadian sebulan yang lalu. Sekarang aku dan Adrian mempersiapkan segala persiapan untuk pernikahan. Aku menatap Adrian yang sedang melihat album foto yang berisikan dekorasi -- dekorasi pernikahan.
Dia masih seperti yang dulu, alasan aku jatuh hati padanya. Dia memiliki sikap yang lembut. "Gimana kalo ini aja? Kita campur adat sunda dan padang?" Adrian bertanya kepadaku dengan senyuman yang selalu mampu menghangatkan. "Iya aku suka kok sama yang ini" ku setujui pendapatnya, ya memang karena sangat Indah dekorasinya. Disela -- sela pemilihan detail dekorasi, Adrian menatap layar handphonenya dan tersirat wajah yang bingung.
Aku baru pertama kali melihat dia seperti itu, apakah budgetnya yang kemahalan? Namun Adrian bilang baik -- baik aja soal budget. "Adrian? Ada apa?" ku beranikan untuk bertanya. "Maksudmu?" dengan menatapku bingung. "Apakah kemahalan? Ada apa di handphone mu? Kamu terlihat resah." Adrian tertawa, "Alhamdulillah ini masih cukup dengan budget kita, aku hanya memikirkan siapa saja yang akan ku undang. Jika aku terkesan resah, aku minta maaf ya" sambil mengusap rambutku. Aku memberi senyum lega kepadanya.
Aku memerhatikan Adrian, memang tidak ada yang beda secara fisik dan masih menjadi Adrian yang manis, namun aku merasakan ada yang berbeda. Adrian kerap kali melamun seperti memikirkan hal yang berat, tapi dia selalu berhasil untuk menyembunyikannya. Apakah karena urusan pernikahan kami? Pikirku dalam hati.
Tapi aku ingin dia jujur jika ada masalah, apalagi kita akan menjadi pasangan suami istri yang seharusnya saling terbuka. Jawaban dari semua pertanyaanku "Ada apa?" dijawab dengan masuk akal dan logis, namun mengapa hati ini terasa terus mengganjal?
Hari ini aku putuskan untuk jalan -- jalan sebentar ke sebuah caf di Jakarta untuk menghilangkan rasa curiga dicampur khawatir. "Zoyaaa!" suara yang cukup keras memanggilku. "Fionna?" ternyata sahabat aku ketika duduk di bangku SMP.