Lihat ke Halaman Asli

Harlah NU: Tetaplah jadi Penyejuk Islam yang Marah!

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini, tepat tanggal 31 Januari 2014, NU ku sudah genap berusia 88 tahun. Angka tersebut bukanlah sekedar angka. 88 bermakna 88 tahun pengabdian NU kepada Indonesia, tanah kelahiran ulama dan nahdliyyin. NU memiliki makna yang berbeda-beda di setiap hati nahdliyyin di seluruh Indonesia. Bagi saya, mahasiswi yang telah dibesarkan NU selama 21 tahun, NU bermakna sebagai rumah yang senantiasa mengayomi dan menenteramkan hati. Ditengah-tengah merebaknya isu gesekan antara golongan keras Islam dan golongan agama Islam lainnya yang saling mengkafirkan satu sama lain, NU menjadi rumah yang menenangkan. Disaat golongan-golongan keras tersebut begitu mudah menyalahkan yang berbeda dengannya, NU dengan prinsip tasamuh dan tawasuth nya selalu menjadi air yang menyejukkan. Disaat golongan-golongan lain terlalu mudah marah dan tersinggung atas perbedaan, NU selalu sabar dan memaafkan perbedaan.

Saya selalu senang mendengarkan ulama NU berbicara di depan publik. Pembawaannya yang santai namun berwibawa membuat pendengarnya menikmati setiap ucapannya. Ketika saya sedang tidak berada di daerah Jawa Timur (karena memang di JawaTimur banyak nahdliyyin) dan mendengar seseorang berbicara, saya bisa merasakan kalau dia juga nahdliyyin tanpa harus diberitahu. Hal sederhana itu membuat saya tersenyum dalam hati. Mengapa? Karena saya tidak perlu mikir dua kali atau bahkan suudzon tentang apa yang diucapkan. Bukannya saya selalu suudzon sama orang, tapi kalau yang diucapkan itu cenderung menuju ke pemikiran-pemikiran keras, saya otomatis mikir dulu bahkan menolak ucapannya. Itu berarti kemoderatan NU telah mengakar di otak saya. Saya mengagumi Kyai Said Aqil, karena suatu ketika pernah mendengar beliau berbicara. Pidato beliau yang sangat berisi dengan cara penyampaianya yang enak membuat saya bangga memiliki ulama yang fatwanya selalu menjadi patokan. Fatwa-fatwa yang merupakan ijtihad ulama yang menekankan kontekstualisasi terhadap sumber referensi utama, al-Quran dan Hadits, membuat nyaman warga nahdliyyin dalam menjalankan tugasnya sebagai Hamba Allah, baik fatwa dalam lingkup fiqh, hal-hal ubudiyah, uluhiyah dan lainnya. Hal sederhana tersebut hanyalah secuil dari makna istimewa NU bagi saya.

Dilihat dari sejarahnya, NU merupakan salah satu pendiri bangsa ini. Ulama NU turut berjuang melawan kolonialisme dan akhirnya berhasil meraih kemerdekaan. Kini, 88 tahun NU tetap berjuang, mengabdi dan mengawal bangsa ini bersama kelompok lainnya, saudara sesama. 21 tahun dididik oleh Yayasan Taman Pendidikan dan Sosial NU Khadijah secara mengakar membuat saya mencintai tradisi-tradisi NU diantaranya dibaan atau sholawatan. Berada diantara nahdliyyin yang cinta sholawat begitu berkesan dalam hati, terasa tenteram. Saat ini, suatu hal yang begitu membanggakan mengetahui terciptanya sebuah republik sholawat, wadah bagi mereka pecinta sholawat dengan tali silaturahmi yang erat satu sama lain. Pemuda-pemudi Nahdliyyin luarbiasa yang begitu aktif membangun bangsa melalui organisasi seperti PMII, IPPNU dan IPNU membuat saya bangga memiliki teman seperjuangan yang sangat potensial menjadi pemimpin bangsa masa depan. Tidak hanya pandai dalam berorganisasi, namun juga hebat dalam mengkaji kitab. Pemikiran-pemikiran mereka yang nyeleneh tapi asyik ini mewarnai perjalanan saya dalam usaha perwujudan impian untuk mampu menjadi generasi muda NU yang kompetitif dan membawa nama harum NU ke kancah internasional. Beberapa hari yang lalu NU kehilangan satu nyawanya, Mbah KH. Sahal Mahfudz. Kesedihan mendalam kehilangan ulama ahli fiqih sosial dirasakan oleh seluruh warga nahdliyyin. Semoga segera akan muncul fuqaha penerus beliau. Mungkin beberapa dari kita? Siapa tahu. Aamiin.

Selamat Harlah NU ke 88, semoga tetap istiqomah mengawal umat ditengah hiruk pikuk kekacauan yang diderita bangsa ini. Tetaplah pada khittahmu, tetaplah menyejukkan kemarahan, menuju Islam yang ramah, bukan Islam yang marah. Kami, nahdliyyin, akan setia menjadi bansermu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline