Lihat ke Halaman Asli

FARAH ATHA SAFIRA

Mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Jember

Konfrontasi Pulau Rempang di Batam

Diperbarui: 24 September 2023   20:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Rempang merupakan sebuah pulau yang terletak di Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Pulau Rempang sendiri memiliki luas kurang lebih sebesar 16.583 hektare. Pulau Rempang juga tercatat memiliki dua kelurahan yakni kelurahan Rempang Cate dan kelurahan Sembulang. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), total warga yang menepati Pulau Rempang saat ini mencapai 7.512 jiwa.  Pulau ini menjadi pulau terbersar kedua yang telah dihubungkan oleh 6 Jembatan Barelang dan  berada sekitar 3 kilometer di sebelah tenggara pulau Batam serta terhubung langsung dengan Jembatan Barelang V dengan sebuah pulau yaitu Pulau Galang yang berada di bagian selatannya. Jembatan Barelang sendiri merupakan singkatan dari Batam, Rempang, dan Galang yang telah menjadi jembatan penghubung antarwilayah di Rempang. Jembatan ini dibangun untuk memperluas Otorita Batam sebagai sebuah regulator daerah industri Pulau Batam.

Pada mulanya Pulau Rempang tidak termasuk dalam daerah Otorita Batam bahkan tidak termasuk juga dalam Pemerintahan Kepulauan Riau, namun setelah disahkannya Keputusan Presiden atau Keppres Nomor 28 Tahun 1992 wilayah daerah Otorita Batam diperluas hingga mencakup Pulau Batam, Pulau Rempang, dan Pulau Galang serta pulau pulau lainnya yang berada di sekitar wilayah tersebut. Tujuan kebijaksanaan pemerintah untuk memadukan

Pulau Rempang dan Pulau Galang ke dalam wilayah Otorita Batam tidak lain untuk masa depan pengembangan wilayah tersebut.

Dalam kepemilikannya Pulau Rempang sendiri merupakan milik pemerintahan Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Tetapi Mahfud MD selaku Menko Polhukam menyatakan bahwa Pulau Rempang adalah milik negara yang dimana hak pengelolaannya telah diserahkan kepada sebuah perusahaan swasta. Pada saat ini Pulau Rempang telah masuk ke dalam daftar Program Strategi Nasional 2023 yang di umumkan menjadi daerah industri bernama Rempang Eco City. Proyek ini digarap oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) milik Bos Artha Graha Group yang telah berkolaborasi dengan BP Batam. MEG diberi arahan untuk menggarap sekitar 17 hektare lahan Pulau Rempang. Dengan demikian dimaksudkan seluruh warga yang menetap di daerah tersebut harus di relokasi agar rencana pembangunan dapat berjalan dengan lancar dan semestinya.

Namun tidak dapat dipungkiri bahwasanya rencana pembangunan Rempang Eco City ini masih terhambat karena adanya penolakan dari masyarakat sekitar. Pada 7 September 2023 terjadi aksi bentrok antara aparat dengan masyarakat yang dimana mereka sebagai warga menolak dilakukannya pengukuran lahan yang akan dilakukan oleh BP Batam sendiri. Mereka   beranggapan bahwa warga adat sekitar telah menetap lebih lama yakni mulai tahun 1834. Dalam peristiwa ini pemerintah juga mengharuskan warganya untuk melakukan relokasi untuk pengosongan lahan. Dari wilayah yang terdampak pun, pemerintah sendiri telah menyiapkan lahan baru serta tempat tingal bagi masyarakat Pulau Rempang. Bahkan pemerintah juga sudah menyiapkan uang ganti rugi yang disesuaikan dengan diihitung dari hak hak sebelumnya untuk diberikan kepada warga. Rincian ganti rugi sendiri adalah tanah seluas 500 meter persegi sudah termasuk dengan alas hak, kemudian rumah tipe 45 seharga 120 juta rupiah, uang tunggu transisi hingga rumah jadi sebesar 12 juta rupiah per jiwa dan uang sewa rumah seharga 1,2 juta rupiah. Ganti rugi yang ada juga tidak hanya mencakup rumah saja melainkan pemerintah  juga menawarkan ganti rugi untuk aset atau kepemilikan lainnya. Selain penyesuaian untuk ganti rugi ini, langkah pemerintah dalam mengatasi konflik pada saat relokasi ialah dengan proses penangannya yang dilakukan secara baik-baik.

Kawasan Pulau Rempang sendiri memang telah dihuni oleh masyarakat lokal atau masyarakat adat serta pendatang jauh sebelum BP Batam ini terbentuk. Namun masyarakat yang tinggal di Pulau Rempang pun selama ini tidak memiliki sertifikat resmi yang sah untuk kepemilikan lahannya. Hal ini disebabkan karena pada masanya kawasan Rempang sebagian besar lahannya merupakan kawasan hutan di bawah Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Nomor 41 tahun 1973. Pada saat itu masyarakat Pulau Rempang juga kesulitan mendapatkan sertifikat tanah. Secara hukum dalam pendaftaran kepemilikan tanah tidak ada kepastian  akan tetapi haknya akan tetap dihormati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline