Indonesia merupakan negara yang kaya akan tanaman obat yang dikenal sejak ribuan tahun lalu. Penggunaan bahan alam sebagai obat tradisional di Indonesia telah dilakukan oleh nenek moyang sejak berabad-abad lalu, hal ini terbukti dari adanya naskah lama pada daun lontar Husodo (Jawa), Usada (Bali), Lontarak pabbura (Sulawesi Selatan), dokumen Serat Primbon Jampi, Serat racikan Boreh Wulang Ndalem dan relief candi Borobudur yang menggambarkan orang sedang meracik obat (jamu) dengan bahan baku tumbuhan. Sebagai unsur budaya, dapat dikatakan bahwa jamu telah berkembang sejak ratusan tahun yang lalu, seiring dengan berkembangnya peradaban masyarakat Jawa. Minuman jamu merupakan resep peninggalan leluhur yang masih dipertahankan dan dikembangkan hingga saat ini bagi masyarakat Indonesia (1,2,3).
Tradisi keraton sebagai pusat budaya masyarakat Jawa juga menyimpan berbagai resep pengobatan tradisional. Secara umum, dapat dilihat bahwa hal ini sudah menjadi budaya bagi masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah. Dalam kehidupan sehari-hari, terutama daerah pedesaan, ramuan herbal seperti jamu sudah tidak asing lagi dikenal sebagai obat tradisional yang ampuh. Ini ditandai dengan peranan jamu yang sangat beragam bagi kehidupan masyarakat Jawa, mulai dari proses kelahiran, masa remaja, dewasa, bahkan sampai masa tua. Mereka minum jamu dengan maksud menjaga kesehatan, kekuatan, maupun kecantikan (1,2).
Tumbuhan yang sering dipakai di Indonesia sebagai obat tradisional atau ramuan herbal seperti jamu mencapai 10% dari tumbuhan yang ada. Bahan dasar yang digunakan dalam pembuatan jamu terdiri adalah tanaman herbal yang dapat dijumpai di lingkungan sekitar. Jamu masih dipercaya oleh masyarakat dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit tanpa menimbulkan efek samping. Oleh sebab itu jamu juga menjadi salah satu representasi kearifan lokal yang berkembang di masyarakat karena kebermanfaatan minuman tradisional ini (2,3).
Jenis jamu sangat beragam dan pemanfaatan minuman jamu lebih diarahkan untuk membantu penyembuhan penyakit, meningkatkan kesehatan (promotif) dan mencegah penyakit (preventif). Hal ini menunjukkan jamu bukan hanya dikenal sebagai sebagai obat, melainkan sebagai minuman fungsional yang enak dan menyegarkan. Jamu memiliki makna tiap jenisnya, seperti kunyit asam yang dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari yang dimulai dari rasa manis-asam yang merupakan simbol kehidupan yang baru terlahir (2,4,5).
Minuman jamu kunyit asam adalah minuman herbal khas Indonesia yang banyak dikonsumsi masyarakat. Minuman ini terbuat dari rimpang kunyit (Curcuma domestica Vahl), buah asam jawa (Tamarindus indica L.), gula kelapa dan air. Bisa disajikan dengan atau tanpa penambahan sari jeruk nipis dan ekstrak daun sirih. Jamu ini bermanfaat sebagai antibiotik dan obat pencegah sariawan. Selain itu, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan dasar minuman jamu tersebut memiliki aktivitas biologis yang baik untuk kesehatan karena kandungan senyawa bioaktif (seperti asam organik, polifenolik, dan flavonoid). Kunyit sebagai bahan jamu ini memiliki manfaat sebagai antioksidan dan antibakteri karena peran senyawa kurkumin, kemudian ada pula sebagai analgesik, antipiretik, dan anti inflamasi. Untuk penambahan daun sirih sendiri dipercaya akan lebih meningkatkan manfaat bagi kesehatan. Beberapa literatur menyebutkan bahwa daun sirih memiliki potensi antibakteri, antioksidan dan antitirosin (3, 5).
Kemudian untuk penambahkan sari jeruk nipis, dianggap akan menambah kesegaran minuman jamu kunyit asam. Jeruk nipis mengandung senyawa bioaktif berupa golongan fenolik, flavonoid, dan asam askorbat yang merupakan senyawa antioksidan. Kombinasi berbagai bahan dalam jamu kunyit asam juga akan mempengaruhi potensi antioksidan. Hal ini dikarenakan aktivitas antioksidan jamu kunyit asam dipengaruhi oleh komposisi bahan dan waktu perebusan. Minuman jamu kunyit asam sirih dengan waktu perebusan selama 2,5 menit merupakan minuman jamu kunyit asam yang memiliki kualitas dan aktivitas aktioksidan lebih tinggi dibandingkan jenis minuman jamu kunyit asam lainnya (5).
Selain manfaat tadi, banyak juga hasil penelitian yang mengatakan bahwa jamu kunyit asam efektif menurunkan nyeri haid dibandingkan. Hasil penelitian yang diperoleh dalam penelitian Sugiharti (2021) menyatakan bahwa kebiasaan mengonsumsi minuman kunyit asam yang dilakukan oleh para remaja putri dapat mengurangi gejala-gejala dismenore primer atau nyeri menstruasi. Kebiasaan adalah serangkaian perbuatan seseorang secara berulang-ulang untuk hal yang sama dan berlangsung tanpa proses berfikir lagi. Dalam hal ini remaja putri yang mempunyai kebiasaan minum jamu kunyit asam karena sudah menjadi tradisi secara turun temurun dari orang tuanya (6).
Beberapa penelitian yang lain juga mengatakan dengan hal yang sama. Penelitian Hamed Fanaei dkk (2016) mengatakan bahwa pengaruh kurkumin dapat menurunkan gejala suasana hati, perilaku dan nyeri menstruasi. Didukung juga dengan penelitian Marsaid dkk (2017) dengan hasil bahwa ekstrak kunyit asam efektif menurunkan dismenore pada remaja putri di Desa Tambang, Ponorogo. Produk herbal/jamu atau fitofarmaka saat ini memang sedang menjadi alternatif utama bagi para remaja putri yang ingin mengurangi rasa nyeri menstruasi tanpa mendapat efek samping, yaitu dengan mengkonsumsi minuman kunyit asam. Selain itu mengatasi nyeri haid dan menurunkan dismenore, ekstrak kunyit juga mampu menurunkan jumlah bakteri di usus yang berkoloni sesuai dengan penelitian Eny pada tahun 2011 (6, 7).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Jawa dikenal lebih terbiasa mengkonsumsi jamu dibandingkan dengan masyarakat lain di Indonesia. Selama ini jenis jamu yang banyak dikonsumsi masyarakat Jawa adalah kunyit asam yang terbuat dari kunyit dan asam jawa serta beras kencur yang terbuat dari jahe dan beras yang harum. Berbeda dengan generasi tua pedesaan yang mengutamakan khasiat jamu, saat ini masyarakat cenderung lebih memilih bahan jamu yang juga bisa dikonsumsi sebagai minuman yang enak dan menyegarkan (8).
Banyak orang enggan mengonsumsi jamu karena citranya yang sudah tua, kuno, rasanya pahit, dan ketinggalan zaman. Karena anggapan tersebut, jamu tidak menjadi gaya hidup masyarakat modern termasuk milenial. Namun pelan tapi pasti, anggapan jamu sebagai hal yang kuno mulai bergeser di benak masyarakat. Menginjak lebih dari satu abad keberadaannya, Jamu semakin inovatif dan responsif dalam memenuhi gaya hidup sehat masyarakat modern. Mulai dari varian produk, tempat penjualan, presentasi, dan rasa, semuanya didesain lebih modern dan inovatif; sehingga dapat terlayani ke semua lapisan masyarakat mulai dari anak-anak hingga orang tua. Tuntutan konsumen yang cenderung praktis, mendorong perusahaan jamu untuk mengembangkan produknya tidak hanya dalam bentuk bubuk, tetapi juga dalam bentuk cair, pil, ekstrak kapsul hingga minuman kesehatan, sehingga jamu dapat dikonsumsi dengan lebih mudah (9).
Permintaan jamu semakin meningkat seiring dengan kesadaran masyarakat dalam menjaga daya tahan tubuh untuk menghadapi virus Corona. Sejak pandemi Covid-19 menjadi masalah masyarakat, produk yang diklaim "mampu mencegah", tentu diminati masyarakat, termasuk jamu ini. Terbukti pada tahun 2020, konsumsi jamu meningkat. Data perizinan Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) Republik Indonesia tahun 2020 menunjukkan peningkatan jumlah permohonan registrasi produk obat peningkat kekebalan tradisional sebesar 131,14% atau lebih dari dua kali lipat dibandingkan periode awal pandemi Covid-19 (9).