Sabar! Akh..., sampai kapan aku harus bersabar? Kali ini kesabaran ku ini sudah sampai titik klimaks. Ibuku pun sampai menitikkan air matanya, melihat fenomena yang sudah tidak wajar ini. "Untung kamu udah pulang, coba kalau kamu belum pulang, siapa coba yang mau bantuin Mamah?! Ya Allah!" ucapnya, lirih. Kejadiannya begitu cepat, hanya hujan sebentar saja, banjir langsung meluap, layaknya datang air bah. Sekejap, 3 RT tergenang banjir. Banjir di didepan rumahku sudah se-dada orang dewasa. Bagaimana kedalaman di bantaran kali? Pastinya sudah 2meter lebih. Beruntung, kakekku datang ke rumah, membantu kami berberes mengangkat kulkas, tv, mesin cuci dan barang elektronik lainnya. Sebenarnya aku tidak tega melihat kakekku yang sudah berusia sepuh itu mengangkat beban yang sangat berat. Namun siapa lagi yang dapat membantuku? Orang-orang di sekitarku pun juga panik, malahan kondisinya lebih parah keadaannya. Suami, dan anak lelaki mereka belum pulang bekerja atau sekolah. Ya, kejadiannya di hari dan waktu jam bekerja, jarang kaum adam yang ada dirumah.
Saat aku keluar rumah, untuk membeli persediaan makanan pun, banyak tetangga yang meminta bantuan, untuk mengangkat barang-barang elektronik. Satu rumah selesai, berjalan beberapa langkah, sudah ada yang meminta bantuan lagi. Semua Barang-barang harus diselamatkan, jika tidak, tentunya sangat menghambat mobilitas kami. Motor yang mogok, kasur ber-sprei lumpur, para karyawan tidak bisa bekerja (bahkan dapat terancam di pecat), para pelajar tidak bisa sekolah, buku-buku asupan gizi dan nutrisi otak mereka hanyut terendam. Belum lagi penyakit yang ditimbulkan, banjir kemarin saja, belasan orang dirawat di rumah sakit terkena Demam Berdarah (DB), termasuk aku. Layaknya kasus Century, banjir di wilayahku ini juga berdampak sistemik. Di sisi lain, dari ketinggian apartemen Kemang Pileg, "mereka" terhibur dengan keadaan kami.
Semakin sore, air semakin meluap, bangku/kayu yang menjadi penopang barang-barang elektronik jomplang/hanyut karena kapasitas air yang semakin tinggi. Sempat ibuku panik mencariku, saat aku membantu rumah tetangga. Beliau panik karena landasan penopang barang elektronik sudah goyah, dan harus ditaruh di tempat yang lebih tinggi. Aku dan kakekku kembali berjibaku dengan beban yang berat. Aku mencari batu besar atau benda yang berat, untuk membebani penopang, agar tidak goyah dan terbalik. Bahkan rumah Zawik, tetanggaku, kulkasnya terbalik, dan tergenang di air. Mushola, yang dahulu dijadikan tempat mengungsi pun, telah terendam air.
Aku pun heran dengan masyarakat di wilayahku sendiri. Mengapa mereka diam saja? Apakah mereka menikmati kejadian ini? Padahal ini sudah di luar kewajaran otak yang normal. Biasanya banjir besar melanda (lebih dari 2meter) minimal 5 tahun sekali. Mau demo, ah..., tapi hanya di mulut saja. Aku yakin, tembok tinggi, penghalang luapan air kali Krukut itu, tidak hanya berdampak bagi wilyahku saja, melainkan wilayah di sepanjang kali Krukut. Namun, aku yakin mereka tidak tahu hal ini (adanya tembok penghalang luapan air kali Krukut ke wilayah Kemang dan pembabatan daerah resapan air). Masyarakat wilayahku dan pemerintah tahu akan hal ini, tapi mengapa mereka diam saja. Apa suara kritis mereka sudah tersumpal uang haram? Mereka tahu tapi diam, sama saja meng-amini pembunuhan berantai, korupsi berjamaah atau kejahatan kriminal lainnya. Sekali lagi aku masih sangat bingung, mengapa real estate itu memiliki izin analisis dampak lingkungan (AMDAL), padahal jelas wilayah kami semakin tercemar dengan sampah dan penyakit.
Menunggu!? Menunggu realisasi pelebaran kali Krukut! Yah, seperti mencari mata air di tengah padang pasir. Belum survei, pembebasan lahan yang tak kunjung sepakat, lelang proyek, mendatangankan alat berat dan materi lainnya. Masih lama kawan, keburu banyak orang yang stress dan bunuh diri karena hal ini. Keburu banyak orang yang terkena penyakit dan mati merana. Magrib menjelang, namun hujan tak kunjung reda, dan kapasitas air semakin meluap. Aku putuskan untuk mandi dan menunaikan Solat Magrib. Saat air mengguyur tubuhku, aku teringat, kejadian ironis ini belum aku abadikan. Dari tadi aku ingin mengabadikan dan mem-publish moment ini, namun aku masih sibuk menyelamatkan barang-barang di rumah. Banyak moment ironis yang aku lewatkan, nenek-nenek di taruh di dalam bak, dibawa ke tempat yang lebih tinggi untuk mengungsi, motor-motor terendam dan moment penting lainnya. Namun, aku sengaja tidak memotret, sebab masih banyak tetanggaku yang harus di bantu, aku pun mengalahkan insting jurnalisku untuk sebuah nilai humanisme, yang menurutku patut dijunjung tinggi. Belum usai mandi, aku mengambil kameraku, dan ingin menceburkan diri lagi ke dalam air keruh. Saat itu, hujan masih turun. Aku ragu untuk memotret, takut kameraku rusak, karena aku yakin tidak mampu membeli yang baru.
"Akh, jangan pikirkan! lo motret bukan untuk dipajang, tapi untuk membangkitkan rasa kepedulian terhadap sesama. Dengan adanya foto/gambar visual, emosi sesorang mudah tersentuh! Ini untuk menggebrak masyarakat lo, untuk bangun dan bergerak! Apalagi ini mendekati tanggal 28 Oktober, hari Sumpah Pemuda! Seharusnya mereka sadar, bersatu dan bergerak bersama!" ucap hati kecilku, yang haus akan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Aku tidak berfikir panjang, langsung terjun ke pelosok yang mampu aku jamah. Dinginnya cuaca membuat gigiku gemeretak, sangat menggangu. Berkali-kali aku tidak fokus dalam mengambil gambar karena tubuhku yang menggigil dengan bunyi gemeretak gigi yang mengusik. Aku pun rela kameraku rusak, tubuhku menggigil dan terkena kuman penyakit, hanya untuk membangkitkan rasa kemanusiaan yang sudah tidak dimanusiakan. Lalu, hei Manusia, apakah kita hanya diam saja!?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H