Lihat ke Halaman Asli

Abdullah Faqih

Mahasiswa Universitas Gadjah Mada

Memoar Hutan Jati di Muna

Diperbarui: 25 Mei 2018   23:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Eksploitasi Hutan Jati di Muna (Pict: FWI)

Bagi orang Muna, Jati bukan sekadar komoditas yang diperjualbelikan karena nilai ekonominya yang tinggi. Jati di Muna memiliki tempat tersendiri di hati mereka, sebab didalamnya terkandung nilai sosio-historis yang amat kaya. Masyarakat Muna yang bermukim di Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara, telah mengenal pohon jati sejak abad ke-14.

Namun, mereka mulai melakukan budidaya jati ketika kolonial Belanda memasuki daerahnya. Orang Muna menyebut jati sebagai kuli dawa yang berarti sebatang pohon yang berasal dari Jawa. Penanaman bibit pohon jati berjenis jati kultur mulai mereka lakukan sejak tahun 1911. Kondisi iklim yang cenderung stabil, ditambah dengan topografi tanah berkapur mendukung pohon jati untuk tumbuh subur di Muna.

Tanpa menunggu waktu lama, hampir seluruh kawasan hutan Muna ditumbuhi oleh pohon jati, tepat setelah komoditas itu pertama kali mereka kenal. Bentangan pohon jati tersebut terbagi ke dalam beberapa kawasan, seperti kawasan hutan lindung Jompi, Kontu, Patu-patu, dan Lasukara. 

Pohon jati di Muna dikenal memiliki kualitas terbaik, bukan hanya di Indonesia melainkan juga di Mancanegara. Sejak tahun 1999, kayu jati sudah menjadi komoditas unggulan yang menopang perekonomian Sulawesi Tenggara, terutama Kabupaten Muna.

Bukan hanya itu, kualitas kayu jati Muna yang tersohor juga menjadikannya sebagai sumber devisa negara, sehingga berperan penting untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional. Tidak heran bila kemudian leluhur orang Muna pernah bercita-cita mengganti lambang daerah mereka menggunakan lambang kayu jati, karena nilai ekonomi, sosial, dan sejarah yang melekat kuat di dalamnya.

Selama turun temurun, hutan jati telah memberikan penghidupan yang cukup pada orang Muna: makanan, obat-obatan, air bersih, udara segar, sumber ekonomi lewat jual-beli kayu, dan lain sebagainya.

Meskipun menggantungkan hidup pada hutan jati, orang Muna tidak sekali pun memperlakukan hutan secara serampangan. Mereka percaya bahwa merusak hutan samahalnya dengan merusak kehidupan. Pemanfaatan sumber daya hutan pun mereka lakukan dengan arif dan bijak.

Mereka membuat berbagai aturan adat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sekaligus menyelamatkan ekologi hutan. Pembagian zona kawasan pun dilakukan untuk mengatur pemanfaatan sumber daya hutan. Di zona pertama, mereka membagi hutan sebagai wana ngiki yang merupakan kawasan rerumputan, lumut, dan perdu, sehingga mampu menghasilkan udara segar. Kawasan tersebut dilarang untuk dijarah oleh siapa pun.

Di zona kedua, kawasan Hutan Jati Muna dibagi menjadi kawasan habitat hewan dan tumbuhan langka, sehingga masyarakat hanya boleh mengambil air tangkapan yang ada di dalamnya. Selain itu, orang Muna juga menyisakan kawasan hutan yang diperbolehkan untuk ditebang dan dimanfaatkan kayu jatinya.

Namun demikian, masyarakat harus menyisakan dahan atau tonggak agar kayu jati tersebut dapat tumbuh kembali menjadi pohon. Hal-hal itu mereka lakukan untuk menjaga hutan jati tetap lestari, sebagaimana petuah nenek moyang mereka "Hutan jati adalah titipan Sang Pencipta yang harus dipelihara untuk generasi mendatang". 

Kontestasi Antar-Aktor

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline