[caption id="attachment_332242" align="aligncenter" width="290" caption="state - lingkarmaya.com"][/caption]
Dalam satu dekade terakhir dalam 3 kali Pemilu, terjadi banyak pro dan kontra mengenai prestasi pemerintah dan indikator yang digunakan dalam pembangunan negara. Beberapa klaim pemerintah seperti tercapainya swasembada beras dan turunnya harga BBM sebanyak tiga kali, menjadi paradoks ketika kemudian impor beras tetap dilakukan dan harga BBM mencapai titik tertinggi dalam sejarah Indonesia. Begitu pula dengan kebijakan pembentukan BPJS yang menyisakan permasalahan sampai hari ini. Kita dapat melihat fakta, bahwa sampai hari ini permasalahan dalam pembangunan di bidang fisik dan material tidak pernah berhenti muncul.
Denis Goulet (1971) mengatakan bahwa ada 3 komponen dalam pembangunan ; life-sustainance, self-esteem dan freedom. Komponen pertama, life-sustainance adalah pembangunan kebutuhan fisik dan material yang selama ini didorong besar-besaran oleh pemerintah. Sedangkan komponen kedua, self-esteem, dalam terminologi psikologi diterjemahkan sebagai gambaran perasaan, kebanggaan dan penghargaan terhadap diri sendiri sesuai dengan kompetensi dan realita.
Komponen pembangunan yang kedua ini lah yang harus kita tanyakan. Bagaimanakah peran negara selama ini dalam mengawal kebutuhan tertinggi warga negaranya, diluar hanya sekedar ‘bertaruh’ dalam setiap kebijakannya menyediakan kebutuhan fisik dan material ?
Karena gejala rendahnya self-esteem yang menjangkiti masyarakat Indonesia sangat banyak. Hiburan televisi yang mencela fisik, pembunuhan beralasan asmara remaja, penjualan sensualitas sampai ke kasus narkoba dan suap pejabat tinggi Mahkamah Konstitusi. Ketidakpuasan fisik dan material tersebut dipicu rendahnya self-esteem masyarakat. Tidak ada penghargaan dan kepercayaan terhadap diri sendiri tanpa tambahan dan aksesoris material yang dibuat-buat.
Hal tersebut terjadi karena pembangunan yang terjadi selama ini terbatas pada dimensi fisik dan material saja. Bahwa sebenarnya ada aspek pembangunan lain yang harus digarap, selain ‘hanya’ mempertahankan kehidupan masyarakat semata. Pembangunan yang melibatkan aspek self-esteem dan freedom. Abraham Maslow (1987), seorang psikolog Amerika menggambarkan komponen kedua pembangunan, self-esteem, sebagai kebutuhan tertinggi kedua di atas kebutuhan fisik, material dan keamanan. Bagaimana-pun tingginya usaha negara dalam pembangunan fisik dan material, negara tidak akan dapat mewujudkan pembangunan yang menyuluruh jika meninggalkan pembangunan ‘jiwa’.
Komponen terakhir pembangunan menurut Denis Goulet, yaitu freedom bermakna kebebasan. Kebebasan dari ketergantungan terhadap dunia luar dalam segala bidang. Termasuk di dalamnya bidang kebudayaan, bahasa dan pendidikan. Luasnya pilihan ekonomi dan sosial yang tersedia, hilangnya limitasi baik secara personal maupun kelompok dengan tekanan. Yang pada akhirnya semua bermuara pada anti-dependensi materiil, atau hilangnya ketergantungan material pada pihak luar.
Harapannya di Pemilu 2014 ini, dengan pilihan yang terbuka luas kita dapat memilah dan memilih kepada para pemimpin yang menyodorkan platform pembangunan yang jelas dan berorientasi pada pembangunan ‘jiwa’ masyarakat dan negara. Tidak hanya berjanji dan bervisi fisik dan material saja. Karena pada bait lagu kebangsaaan kita disebutkan terlebih dahulu mana yang harus didahulukan pembangunannya, ..Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya untuk Indonesia Raya..
*Tulisan ini terinspirasi oleh artikel opini Dr.Ahmad Erani Yustika, Guru Besar UB Malang di Kompas bulan Desember 2013
**Tulisan ini disampaikan sebagai pengantar diskusi VIP Komisariat KAMMI Airlangga Bulan Maret
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H