Lihat ke Halaman Asli

Faqih Ma arif

TERVERIFIKASI

Civil Engineering: Discrete Element | Engineering Mechanics | Finite Element Method | Material Engineering | Structural Engineering |

Seni Menjunjung Adab dalam Berkomunikasi

Diperbarui: 17 Mei 2020   22:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi ayah dan anak | pixabay.com

Dalam sebuah perjalanan di kereta eksekutif jurusan Jakarta -- Yogyakarta terdapat pemuda berusia dua puluhan tahun. Sepanjang perjalanan dia selalu berdiskusi dengan ayahnya, sambil memandang keluar Jendela.

"Ayah lihat, pohon-pohon itu sedang berlarian"

Satu baris tempat duduk terdapat sepasang keluarga muda yang merasa kasihan terhadap tingkah anak tersebut. Keduanya mencibir bahwasanya tingkah anak itu terlalu berisik dan mengganggu penumpang lainnya.

Kembali pemuda itu membuat suara karena terlalu antusias melihat pemandangan di luar kereta api.

"Ayah lihatlah, awan itu juga berjalan, seolah sedang mengikuti kereta kita!"

Kedua pasangan yang berada satu baris dengan pemuda tersebut nampak sudah tidak sabar untuk menegur si pemuda, dan saatnya pun tiba.

"pak, anak anda terlalu berisik dan mengganggu kami, ada baiknya anak anda segera di bawa ke dokter"

Kemudian sang ayah menampakkan senyum sembari berkata:

"Mohon maaf, anak saya sudah saya bawa ke dokter, baru saja kami pulang dari rumah sakit".  "Anak saya ini buta sejak lahir, tepatnya hari ini dia dapat melihat kembali untuk pertama kali dalam hidupnya". Ujar sang Ayah

Seketika suasana pun menjadi hening, tanpa ada pembicaraan lebih lanjut, tanpa permintaan maaf.

Cerita di atas telah dapat disaksikan dari berbagai sumber, saya menelaah intisari ceritanya tanpa mengurangi makna yang terkandung di dalamnya.
Kisah penuh singkat penuh hikmah ini layak untuk dijadikan renungan kita bersama. Apa saja pelajaran yang dapat diambil dari kisah tersebut?, semoga ulasan ini dapat membantu pembaca memahaminya.

Adol gendhung
Adol gendhung dalam Bahasa jawa berati sebuah sikap yang memperlihatkan kesombongan, yang akibatnya akan bertingkah laku tidak sopan.
Mengambil kisah diatas, tidaklah mudah untuk mengetahui latar belakang seseorang. Ada etika dalam bergaul yang harus kita pegang teguh, menjaga kerukunan, serta ketertiban, terlebih ditempat umum. Apapun sikap yang akan diambil, hendaknya dipikirkan matang terlebih dahulu.

Dalam kajian penyakit hati, kita menjadi kurang hormat kepada orang lain salah satunya karena adanya kesombongan dalam diri. Kita merasa lebih baik, lebih pintar, pandai, lebih kaya, dan lebih dalam segala hal, dengan mudahnya menganggap enteng orang lain yang tidak selevel dengan kita.

Hati-hatilah kalian dari hasad karena sesungguhnya, hasad itu memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar atau semak belukar (rumput kering)." (HR Abu Dawud).

Dalam level ini, biasanya tipe karakter yang demikian akan malu jika apa yang disangka lebih tinggi darinya, atau bahkan meleset dari dugaannya. Kepribadian inipun biasanya mudah tergelincir dalam berbagai hal, jika tidak segera bertobat maka akan menjadi semakin liar dan tersesat, terutama karena pola pikir yang sudah keliru.

Ngono ya ngono, ning aja ngono

Istilah ini seringkali kita dengar jika kita berkomunikasi di daerah, yang mayoritas menggunakan Bahasa jawa, sebagai contoh di Yogyakarta.
Ngono yo ngono, ning aja ngono berarti merupakan peringatan bagi kita agar tidak berbuat sesuatu yang berlebihan, sehingga akan menimbulkan pemicu masalah baru dengan orang lain.

Dalam cerita diatas, memperingatkan seseorang tentunya harus dengan sopan, biasa diawali dengan "meminta maaf", atau "mohon ijin", dan kata pembuka lainnya yang menyejukkan hati.

Jika ini tidak kita terapkan, maka tidak heran ucapan kita dapat melukai perasaan orang lain, siapapun dia. Kita juga dapat melihat betapa banyak usaha yang gagal, hubungan kekerabatan putus, kurang harmonisnya rumah tangga, hingga persilisihan dalam internal keluarga karena satu sama lain tidak menghormati dan empati.

Jika ingin memperingatkan tapi tidak melukai hati, maka peribahasa jawa ini nampaknya bisa menjadi contoh nyata menjunjung etika berkomunikasi.

Dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan
Inilah tataran nasehat yang lebih tinggi dari keduanya. Bagaimana memperlakukan orang lain seperti memperlakukan diri kita sendiri.
Dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan berarti bukan saudara ataupun kerabat, namun jika dia mati kita akan sangat kehilangan. Kita harus dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya, apapun kejadiannya.

"Kenapa kita diajarkan berpuasa?", salah satunya agar kita dapat mengetahui saudara kita yang kurang beruntung, yang hidupnya pas-pasan, untuk makan saja susah, sehingga terkadang satu hari hanya satu kali makan, atau bahkan harus berpuasa seharian karena tidak ada yang dibeli.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline