Lihat ke Halaman Asli

Faqih Ma arif

TERVERIFIKASI

Civil Engineering: Discrete Element | Engineering Mechanics | Finite Element Method | Material Engineering | Structural Engineering |

"Platform" Sungkem Digital Gaya Baru

Diperbarui: 16 Mei 2020   22:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi wechat | dokpri

Berbagai peristiwa di tanah air terkait dengan mudik lebaran patut mendapatkan perhatian bersama dari pemerintah dan diri kita. Bagaimana mungkin masyarakat dengan berbagai cara melakukan aktivitas mudik dari menyewa kendaraan angkutan derek, bersembunyi di truk, hingga rela merogoh kocek jutaan rupiah untuk pulang ke kampung halaman.

Lantas, apakah ini dibenarkan?, saya kira penyebabnya adalah karena banyak dari kita yang memang belum sepenuhnya menerapkan teknologi untuk kemashlahatan hidup. Oleh karena itu, sedikit ulasan ini semoga dapat menggambarkan bahwa di luar sana banyak yang kurang seberuntung kita.
"Kenapa kurang beruntung?", berpikir untuk mudik saja harus mengeluarkan biaya yang tidak murah, disertai proses perijinan yang tidaklah mudah. Mari kita simak sedikit pengalaman kecil saya dari sudut pandang mahasiswa.

Budaya konvensional
Siapa yang tidak ingin pulang ketika lebaran tiba?, berdasarkan sebuah film dokumenter yang pernah saya telaah, ternyata aktifitas mudik di Indonesia mengakibatkan perputaran roda perekonomian di tingkat kabupaten kota yang luar biasa.

Bayangkan saja, hampir puluhan triliun perputaran uang berada di daerah. Semua orang berpindah dari kota ke desa, baik besar, kecil, tua, muda, dan dewasa semua menikmati mudik lebaran setiap tahunnya.

Mudik di Indonesia seakan sudah menjadi budaya yang berlangsung puluhan tahun lalu. Kita akan selalu mengenang indahnya bermaaf-maafan satu sama lain, terhubung saudara yang puluhan tahun tidak bertemu. Ada juga mudik dengan tujuan untuk menunjukkan kesuksesan seorang yang bekerja di kota, yang kembali ke kampung dengan membawa berbagai macam rupa hadiah, meskipun sebenarnya dia rela di perantauan setiap hari makan dengan nasi dan kerupuk.

Namun, berdasarkan pengalaman juga menunjukkan bahwa tingkat kecelakaan kendaraan juga lebih tinggi. Tidak hanya itu, perilaku konsumtif dan boros juga melanda dimana-mana. Untuk salah satu acara reuni saja bisa menghabiskan sampai puluhan juta, untuk petasan yang sekali meletus juga rela membeli dengan harga jutaan rupiah, beberapa hal itu tentunya mengurangi rasa kidmat mudik kita.

Usulan mudik gaya baru
Dengan tegas pemerintah telah melarang untuk mudik secara konvensional. Pemerintah juga menegaskan untuk bersilaturahim dengan keluarga dapat menggunakan teknologi virtual. Berbagai upaya untuk mencegah mudik konvensional pun dilakukan.

Berlakunya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menjadikan seluruh aturan berjalan ketat, pemeriksaan kendaraan di titik-titik strategis secara aktif telah menangkap dan memutar balik berbagai kasus pengendara, tidak jarang juga diberikan hukuman secara langsung sebagai efek jera.

Sistem karantina bagi pemudik yang nekat untuk kembali ke kampung halamannya juga dterapkan, dari karantina mandiri hingga karantina ditempat yang telah disediakan pemerintah desa. Jika kita melihat kebijakan ini semua, sudah saatnya kita beralih dari mudik konvensional menuju budaya baru mudik virtual (online).

Dengan cara ini diharapkan mudik kovensional dapat ditekan untuk mengendalikan penyebaran coronavirus. Manfaat budaya baru mudik online ini juga akan berdampak positif terhadap tingkat kecelakaan lalu lintas, hingar bingar di pedesaan dengan petasannya, dan budaya konsumtif masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline