"Rumah Sakit Persahabatan mendapatkan bantuan 1.500 peralatan medis, akan tetapi perhari menghabiskan 470, maka jumlah tersebut hanya mampu menampung selama lebih kurang selama tiga hari". Ujar dr. Erlina Burhan, pakar spesialis paru dari RS Persahabatan dalam keterangan di salah satu stasiun TV Swasta.
Pandemi COVID-19 yang terus mengganas menyebabkan banyak korban jiwa, hampir semua aspek (berbagai bidang) terkena dampaknya. Hingga dini hari ini, terkonfirmasi jumlah total korban terinfeksi di dunia berada dikisaran angka (885.687) dilansir dari JHU CSSE.
Amerika Serikat, Italia dan Spanyol menjadi yang tertinggi dengan angka korban terinfeksi berturut-turut sebesar (190.089), 105.792) dan (102.136) jiwa. Jumlah korban meninggal diseluruh dunia dilaporkan 44.216 Jiwa dengan korban sembuh 185.477 jiwa.
Berbagai negara berlomba-lomba untuk memberikan pelayanan dan proteksi terbaik bagi warga negaranya. Sebutlah China, Korea Selatan, Singapura dan beberapa negara lainnya yang berusaha sekuat tenaga agar virus ini dapat dikendalikan, mengingat vaksin masih dalam tahapan uji coba.
Sayangnya, Organisasi Kesehatan Dunia terlambat ambil peran, pakar teknologi dan IT telah mengeluarkan software canggih yang dinamakan "Kalkulator Epidemi", yang dapat digunakan secara actual dengan mengacu pada data riset. Lantas, apa saja yang menjadi poin dari tulisan ini?, mari kita simak bersama.
WHO Terlambat ambil peran
Aplikasi untuk mendeteksi coronavirus telah dikembangkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), prototipe dasar aplikasi direncanakan berjalan pada 30 Maret 2020. Akan tetapi, hingga berita ini ditulis kita belum dapat mengaksesnya.
Software yang dibuat diberi nama WHO My Health. Adapun nama tersebut diusulkan oleh tim Covid App Collective. Siapa saja di dalamnya?, mereka adalah mantan karyawan Google dan Microsoft dan penasehat serta duta WHO, ditambah pakar industri di bidangnya. Fantastis bukan?. Aplikasi yang dibuat memuat beberapa hal penting seperti kiat atau tips, berita, untuk memberikan informasi aktual selama pandemi COVID-19.
Di awal pekan akhir Maret, WHO juga menampilkan chatbot yang berfungsi untuk menemukan mitos tentang coronavirus dan membantu diagnosis mandiri pengguna sampai dengan batas tertentu jika pengguna memiliki gejala COVID-19, chatbot tidak sendirian, ia bekerjasama juga dengan WhatsApp.
Aplikasi yang dikembangkan oleh WHO ini sebenarnya telah lebih dahulu digunakan oleh para ahli di China, Korea Selatan, dan Hongkong dalam rangka mencegah penyebaran yang lebih luas. Dalam hal ini, WHO terlambat ambil peran.
Kabar baiknya, Indonesia juga telah mengembangkan aplikasi serupa seperti yang digunakan di DKI Jakarta dan Jawa Barat seperti laporan Gubernur dalam wawancara dengan stasiun televisi swasta. Kembali lagi, WHO terlambat ambil peran.