Oleh: Fantika Febry Puspitasari
(Mahasiswa Pascasarjana IAIN Surakarta)
Sudah beberapa hari ini rasanya hiruk pikuk kampus tercinta menjadi sorotan nasional. "Wah, hebat ya?" Sekedar bergumam dalam hati.
Ada apa sih sama IAIN?
IAIN geger loh!!
IAIN mau datengin syi'ah?
IAIN dijaga ribuan polisi dan TNI!!
Dan IAIN apalah-apalah yang lainnya.. banyak pertanyaan muncul dari segala penjuru. Dari alumni yang sudah jauh, dari teman kampus lain, dan sebagainya..
Oke let's start from here..
IAIN merupakan kampus yang bercita-cita mencetak intelektual muslim. Dema Institut bermaksud menyelenggarakan sebuah agenda ilmiah 'bedah buku', dengan judul 'Islam Tuhan Islam Manusia'. Banyak muncul pertanyaan yang saya amati dari media sosial, "Emang Islam ada berapa? Islam ya Islam," isi komentar salah satu pengguna medsos.
Telusur demi telusur, oh.. ternyata katanya yang mau diundang itu adalah seorang gembong syiah, pantas saja lah jika memunculkan banyak pertanyaan atas judul bukunya..
Menerima penolakan dari beberapa pihak bagian dari umat islam soloraya, Rektor memutuskan untuk tetap melanjutkan acara dengan mempersilakan salah satu perwakilan pihak yang menolak duduk bersama menjadi narasumber. Terdapat beberapa miss komunikasi pula dalam proses pengundangan pihak penolak yang ini tidak ingin banyak saya komentari. Pada intinya, pihak yang menentang diselenggarakannya agenda ini menolak untuk hadir pada acara tersebut karena menyatakan diri menolak. Umat islam soloraya berpikir jika ini meresahkan dikarenakan khawatir agenda ini akan menjadi sarana penyebaran paham syi'ah di IAIN surakarta. Namun pihak penyelenggara berpikir bahwa menimba ilmu tidak boleh dibatasi demi untuk menjaga marwah keilmuan.
Begitu sedikit cuplikan kisah tentang berita yang membawa nama besar IAIN surakarya.
Sekarang mari kita mencoba sedikit merenungi hal-hal skeptis di sini..
Diskusi Ilmiah, Kajian ilmiah tentu merupakan sebuah majelis yang luhur, di mana setiap orang berhak untuk belajar apapun di dalamnya. Namun untuk memperoleh hasil yang baik, perlu kapasitas yang seimbang antara aspek ruhiyah dan fikriyah, tentu ini merupakan ranah masing-masing orang yang tidak akan saya bahas terlalu dalam.
Dalam penyelenggaraan acara ini, kedua pihak sama-sama kekeh untuk membela hak masing-masing yang diperjuangkan, tentu bukan sesuatu hal yang dapat disalahkan dengan serta merta karena keduanya memiliki alasan yang sama kuat. Pihak penyelenggara pun cukup 'gentle' untuk mempersilakan pihak penolak untuk duduk bersama, namun disayangkan sekali pihak penolak tetap menolak tawaran. Dalam hal ini pula, jangan terlalu mudah kita menyalahkan, lagi-lagi pihak ini pasti memiliki alasan yang kuat untuk menolak berjalannya acara.
Mari kita berbicara tentang kebebasan menuntut ilmu. Saya senang sekali dengan statement ini, karena menuntut ilmu merupakan hak tiap orang. Lalu mari kita bersikap lebih adil pula dalam hal ini. Jika kita ingin membuka wawasan tentang bagaimana pemikiran syi'ah 'yang dianggap sesat itu', maka kita juga harus membuka wawasan terhadap pemikiran lain seperti wahabi, salafy, HTI, dan lain sebagainya yang selama ini juga menuai banyak pro dan kontra di masyarakat islam. Begitulah 'mimbar ilmu' ini akan dirasakan lebih 'fair'. Jika kita berpikir syi'ah perlu dipelajari dan tidak sepenuhnya sesat, maka mencobalah pula kita untuk mempelajari pemikiran yang selama ini dituding sebagai pemikiran 'radikal' dalam istilah para penudingnya. Gerah memang melihat fenomena saling tuding satu sama lain. Bahkan lontaran-lontaran sinis terhadap pemikiran-pemikiran yang berseberangan atau membuat kecewa secara pribadi sering sekali kita temui bukan. Kadang bukankah kita berpikir, 'ahh, mereka sama saja', tapi pernahkah kita berpikir 'ahh, kita ini sama saja', lisan tak mampu kita jaga, pikiran tak mampu kita kendalikan, alih-alih bahagia jika ada pihak yang mengolok-olok pemikiran yang berseberangan dengan kita. Tanpa melakukan analisis yang lebih dalam, lidah dan jari kita lebih cepat bergerak daripada otak.
Allahu a'lam :-)