Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Kemarau, Kau dan Aku Kembali

Diperbarui: 3 November 2019   01:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mulailah aku masuk ke dalam kereta, dan diikuti suamiku. Dan mataku mulai mencari-cari yang kosong di tengah banyaknya orang yang sedang menata barang milik mereka. Kutemui nomor kursi milikku sendiri, dan ia pun juga mengikuti. Kami duduk. 

Ia bertanya untuk kesekian kalinya, "Kapan kereta akan berangkat?". "Mungkin 15 menit lagi", jawabku terburu-buru. Siang ini memang waktunya untuk keberangkatan kami. Alasan kami pulang: Kami ingin bertemu bapak yang 'katanya' sudah lelah dengan penyakit yang dialaminya. Baru kemarin, kami menerima surat dari Asmi, asisten rumah bapak yang bertahun-tahun tinggal bersama bapak. 

Pandanganku kini kuarahkan ke mukanya. Ekspresinya sudah tidak seenak tadi pagi kulihat. Mungkin mengingat surat dari Asmi. "Apa yang sedang kau pikirkan?", ia menjawab namun tak menoleh, "Sepertinya kita terlambat untuk bertemu bapak. Terlalu ego untuk mengetahui bahwa badannya kini sedang terbaring lemah".

Aku tak bisa membalas apa-apa. Kata-katanya seakan menghukum dan membuat batas ruang gerak. Ia bicara lagi, kali ini ia mencoba menahan segala rasa gelisah yang ia alami, "Ingin aku bersedih, tapi juga ingin marah. Marah pada diri sendiri". Aku pun memperjelas kalimatnya, "Menyesalkah kau saat ini?".

Kereta melaju dengan cepat. Kedua mataku tak sempat berwisata ke arah luar. Padahal pemandangan diluar memungkinkan untuk menghibur hatiku walaupun sedikit saja. Beban terhadap bapak masih sangat terasa. Akhirnya aku hanya bisa melihat orang mondar-mandir, mencari segelas kopi karena perjalanan masih panjang. 

Kemarau begitu menyulitkan. Jika saja tak ada kepentingan yang lebih penting, mungkin kami hanya sebatas di rumah saja. Mulanya tak ada lagi selain Jakarta, tempat kami menaruh segala keluh kesah, senang, dan semua-muanya. Namun ketika Bapak mengirim kabar, Jakarta bukan lagi satu-satunya. Ada yang lebih penting: Bapak. Kami pasti akan menemuinya, entah dengan alasan apapun itu...

Perjalanan yang panjang itu aku tak menemukan sedikitpun tanda-tanda yang aneh, mungkin pertanda untuk Bapak sendiri. Sedang suamiku tertidur di sebelahku. Kesedihan membuatnya cepat sekali memejamkan mata. 

Setelah tiga tahun kami tak bertemu bapak, kami tiba di Desa. Desa yang dari dulu sampai sekarang tak berubah, masih dengan pemandangannya yang hijau dan ditumbuhi pohon-pohon jati. Aku ingat ketika Bapak mengajakku jalan-jalan di sekitar desa ini. Hanya menelusuri mata air dan membawa nya pulang. 

Di depan menuju jalan masuk, aku tak melihat ada orang yang berlalu-lalang. Namun cepat sekali perjalanan kecil menuju rumah Bapak. Nampak Asmi sedang menunggu sesuatu. Nyatanya ia memang menunggu kedatangan kami. Asmi sendiri pun, tak banyak yang berubah. Detik-detik ini, aku langsung ingin bertemu bapak. 

"Mari, Mbak, Mas, bapak ada di dalam", Asmi mengajak kami, hingga ditampakkan bapak yang terlihat agak terkejut. 

Kami rangkul badan Bapak. Dan mulailah airmata itu mengalir dengan tidak sengaja. Sungguh, kami tidaklah ego yang dipikirkan. Kami benar-benar rindu akan sosok bapak, rindu perawakannya, rindu ceritanya, rindu masa lalu dengannya kala itu...

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline