Menulis sebetulnya bukan kegemaran saya secara pasti. Saya menulis karena ada yang ingin disampaikan, seperti halnya orang menulis surat. Dalam surat itu pasti ada kerinduan, ada perasaan lain yang ingin sekali diungkapkan. Seperti itu kiranya, mirip dengan surat. Memang tak ada masalahnya jika menulis untuk sesuatu yang menghibur. Namun bagi saya, menulis dengan maksud ingin memberi tahu, akan terasa berbeda bagi saya.
Begitu banyak tulisan yang menginspirasi. Seperti kumpulan cerpen dalam satu buku, ataupun novel. Yang saya bayangkan setelah membaca karya-karya mereka, muncul persepsi kalau penulis banyak yang bicara fakta meskipun tidak seratus persen mengandung fakta. Bisa saja, atau barangkali mereka mengarang hanya untuk menjaga perasaan seorang pembaca.
Mulai dari pengalaman itulah saya berani mengambil kesimpulan bahwa seseorang menulis karena ingin bicara. Kemudian hal itu juga menggantikan kepercayaan saya tentang hakikat menulis.
Awalnya saya senang dengan yang namanya mengarang sebuah cerita. Mulai dari tokoh, setting lokasinya, dan peradegannya, saya buat sedemikian bebasnya. Namun sadar saat menulis itu berproses, lama-kelamaan saya tahu kalau fakta lebih yang diutamakan.
Menulis Seperti Sebuah Amalan
Pernahkah Anda membayangkan hal ini, bahwa tulisan bukan sekedar menghibur pembacanya melalui isi yang disampaikan, namun juga berhubungan dengan 'Amalan'. Amalan; jika ikhlas mengasihi, maka keuntungan bukan sekedar milik Anda, tetapi juga orang lain yang merasakan. Menulis sama saja dengan kita mengamalkan sesuatu, namun dengan catatan menulis untuk sesama, menulis demi sebuah tujuan kebaikan.
Jadi, menulislah seolah-olah orang lain sedang membutuhkan sesuatu. Dan Anda sebagai penulis, menjadi jembatan untuk mereka. Dan setiap tulisan Anda sangat bermanfaat bagi mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H