Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Jakarta Tanpa Dekapan Ibu

Diperbarui: 5 Agustus 2018   01:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu. Sangat pagi sekali. Dari jiwa yang masih tertidur karena lelahnya mengejar waktu. Separuh harapan sudah kugantungkan pada yang benar; benar akan menjamin hidupku kelak. Dan aku selalu terngiang dengan berbagai beban yang harus dijalani meskipun nampaknya orang dewasa diatasku masih menganggap itu hal yang biasa. 

Jakarta, tempat kali pertama aku menginjakkan kaki. Meneruskan perjalananku sebagai seorang pembelajar. Statusku berubah karena tinggal di Jakarta ini. Dulu serasa aku bukan siapa-siapa. Setelah menjajak diri menjadi orang Jakarta, aku merasa dipentingkan. Pandangan menjadi terbuka lebar. Tak peduli lagi lidah orang-orang yang dulu sempat melukai perasaan. Jika aku bertemu mereka: Lihatlah! Lihatlah aku yang sekarang! Kau pasti enggan untuk berkata apa-apa! 

Namun, tak bisa dipungkiri omongan orang yang kudengar waktu itu. Di Jakarta ini tetaplah untuk berhati-hati. Membidik langkah agar tidak salah langkah. 

Masih dengan pagi. Aku melihat kaki-kaki orang dewasa bertebaran, berjalan kemana-mana. Hendaknya mereka punya suatu urusan yang penting. Dan aku sebagai pemerhati orang-orang saja. 

Dalam sebuh perjalanan, di sebuah kereta. Kanan-kiri sudah ramai orang saling menunggu kedatangan kereta. Orang di sebelahku sudah berpindah posisi dan semakin lama tidak ada ruang yang tersisa. Angan untuk kembali ke rumah semakin besar. Sejujurnya aku ingin pulang, benar ingin pulang, meskipun belum membawa apa-apa. 

Pada kereta yang terus melaju itu, aku kembali teringat biaya hidup. Yang sebenarnya tak ada bapak-ibu dibelakangku untuk memberi tahu. Dan masalah utang-piutang. Mengingat bapak tak punya biaya yang besar... aku harus mencari tambahan sendiri. 

Dan aku pada ke-keraskepala-anku. Kesendirian dan kebebasan yang kualami sekarang ini, terutama di kota ini, membuatku semakin melanggar. Melanggar dan melanggar kembali. Aku tersadar tak ada bapak-ibu yang bisa memberi nasihat. Begini mungkin jika lama-lama sendiri tanpa bapak-ibu. 

Ingatanku berpindah ke yang lain lagi. Jika kuingat sedikit saja tentang laki-laki yang sempat aku bertemu dengannya: benar-benar tak tahu malu! Pertemuan yang sia-sia. Saat malam sudah hampir mau habis, kembali aku menangis. Mana lagi orang seperti itu? Ingin kuinjak saja! 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline