Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Sehelai Rambut Nenek

Diperbarui: 6 Juni 2017   17:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kuletakkan tas punggungku di atas kursi yang sudah lapuk. Kurebahkan tubuhku di kursi panjang. Sungguh hari yang melelahkan setelah melakukan perjalanan panjang menuju rumah ini, rumah nenek. Bibi tak mengatakan apa-apa, tetapi ia begitu baiknya padaku, mau menyediakan segelas teh manis hangat.

"Mbok yo diminum dulu, biar capeknya berkurang",

Bibi langsung pergi ke belakang tanpa meminta diri. Di rumah ini, yang kutahu hanya bibi dan nenek saja. Yang lainnya, pak Joko, suami bibi, mungkin sedang bertugas di luar. Yang kutahu Pak Joko adalah seorang guru Sekolah Dasar. Lokasi sekolahnya tak jauh dari rumah ini. Aku pernah ke sana hanya untuk menengoknya saja. Pak Joko merupakan sosok yang sederhana bagiku, namun pemikirannya tak sesederhana yang dibayangkan. Ia pernah menasehati: "Janganlah hidup untuk diri sendiri, hiduplah untuk orang lain. Tak hanya berguna bagi diri sendiri, tetapi juga berguna bagi orang lain". Nasehat itu selalu terngiang. Tiada bosan-bosannya aku mengingatnya.

Lelah menjadi berkurang saat aku menjamah ruang tamu. Kulihat foto-foto nenek terpajang di dinding dengan bingkai lama. Disampingnya ada fotoku semasa kecil. Dulu beliau cantik, batinku, sampai sekarang pun juga masih cantik. Melihat foto nenek beberapa waktu tahun yang lalu membuatku ingin bertemu dengannya. Barangkali ia ada di kamar, sedang istirahat.

Kamar nenek dekat dengan ruang makan, tak berpintu, hanya ditutupi kain saja. Kamarnya sangat kecil, hanya bisa ditempati oleh ranjang dan meja kecil untuk menaruh makanan dan minuman. Selama ini yang mengurusi nenek hanya bibi saja, tetapi itu pun nenek tak banyak meminta. Bibi lebih menghabiskan waktunya kurang-lebih di dapur dan ruang makan. Sesekali ia juga melihat nenek dibalik kain.

Sungguh patah hati melihat keadaan nenek. Kulihat wajahnya yang penuh kerutan, menandakan perjalanan hidup pada saat itu yang.. ah sudahlah, semakin sedih aku dibuatnya. Ditambah sekarang ini beliau sakit tak bisa jalan. Tubuh telah dimakan usia, seiring dengan benda-benda milik nenek di rumah ini.

Sesungguhnya aku ingin mendengar nenek bicara. Bicara sedikit pun tak apa, yang penting bisa menyenangkan hatiku. Yang penting pula bisa menghilangkan rasa penasaranku. Tanpa disadari bibi menungguku untuk menoleh ke arahnya. Ia berada di sebelahku. Aku tersadar, lalu memulai:

"Eh, Bi.. anu.."

"Masuk aja Non, nggak apa-apa"

"Saya takut ganggu nenek, Bi.."

Bibi dengan kalemnya membantu membangunkan nenek dari ranjang. Ia lalu menuntun:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline