Tahun 2016 Lembaga Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis peringkat provinsi yang paling banyak kasus korupsi yang disidik oleh penegak hukum. Sumatera Utara menempati posisi kedua, sementara 'puncak klasemen' diduduki oleh Jawa Timur. Sementara itu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menyebut bahwa Sumatera Utara adalah salah satu dari tiga provinsi terkorup di Indonesia.
Reputasi Sumatera Utara sebagai juara korupsi sebenarnya tak perlu diragukan lagi. Dua gubernurnya berturut-turut masuk penjara karena kasus korupsi. Dua walikota ibukota provinsinya berturut-turut mendekam di bui juga karena kasus serupa.
Berita di harian Kompas hari ini tentang 8 pegawai Puskesmas Simalingkar di Medan yang dimutasi karena melaporkan pungutan liar (pungli) bisa menjadi gambaran bagaimana cara provinsi ini bisa mempertahankan posisi prestisius di kancah perkorupsian di tanah air.
Setelah beberapa minggu sebelumnya Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan mengancam 19 orang pegawai puskesmas yang mengangkat kasus pungli di kantornya, sang pejabat ibukota provinsi benar-benar mengeluarkan surat mutasi untuk 8 orang penyuara penyelewengan tersebut. Tidak terima dengan kesewenang-wenangan tersebut, belasan pegawai Puskesmas melakukan aksi menginap di DPRD Medan sejak Senin kemarin. Mereka meminta pembatalan pemutasian tersebut.
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Sumatera Utara menilai janggal ancaman dan tindakan mutasi tersebut. Menurutnya, orang- yang berjuang untuk kebaikan tidak seharusnya dihabisi - sebaliknya, Walikota seharusnya mencopot jabatan kadis dan membatalkan mutasi tersebut. Ombudsman RI telah menelisik kasus tersebut dan mengonfirmasi adanya pungli yang dilakukan oleh Kepala Puskesmas Simalingkar dr Rooselyn Bakkara.
Konon, kepala puskesmas mengaku bahwa kutipan sebesar Rp. 100.000 per bulan dari 76 pekerja medis dan pegawai di lingkungannya untuk biaya akreditasi puskemas. Menurutnya, dana dari APBD tidak ada, sehingga "demi kepentingan bersama", dia mengajak semua bawahannya untuk menalangi dana tersebut.
Ketua Komisi B DPRD Medan Maruli Tua Tarigan menyangkal pernyataan tersebut.Dalam APBD Pemko Medan tahun 2017 telah dialokasikan anggaran sebesar Rp 4 Miliar untuk biaya program peningkatan akreditasi 20 puskesmas. Selain di Puskesmas Simalingkar, Maruli juga mendapatkan laporan pungli terjadi di Puskesmas Medan Selayang dan Puskesmas Medan Johor.
Herannya, alih-alih menindaklanjuti laporan pungli tersebut, Wakil Walikota Medan Akhyar Nasution menuding para pegawai puskesmas yang melapor ke Ombudsman RI dan DPRD Medan tersebut sebagai orang yang haus jabatan. Kutipan Rp. 100.000 per bulan tersebut dianggap bukan pungli, tetapi suatu "kepantasan."
Dalam kata-kata Wakil Walikota Medan," Kita ini kan budaya timur yang terbiasa menjamu tamu. Kutipan seratus ribu itu kan untuk beli cendramata atau oleh-oleh kepada assessor. Kan untuk jamu-menjamu ini tidak ada anggarannya, makanya dikutip. Siapa yang tidak setuju tidak dikutip. Yang dikutip kan hanya dari yang setuju. Lagian uang Rp 100 ribu itu berapalah bagi dokter. Kecilnya itu."
Tampaknya, inilah rahasia budaya timur (atau Sumatera Utara?) yang telah mengokohkan provinsi ini sebagai tempat persemaian koruptor yang piawai. Memberikan gratifikasi kepada orang yang sedang menilai suatu lembaga sungguh budaya yang kental dengan semangat suap. Menganggap kutipan Rp.100.000 ("kecilnya itu") bukan pungli karena nominalnya tidak seberapa merupakan gambaran sikap permisif terhadap perilaku korup di lingkungan birokrasi.
Kehebatan budaya timur (Sumatera Utara ?) yang "ramah terhadap pungli" tidak berhenti pada Wakil Walikota saja. Tamu terhormat dari Pusat pun segera terimbas dengan budaya tersebut. Ketika Dirjen Pelayanan Kesehatan Kemenkes RI, dr Bambang Wibowo, bersama Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan menyambangi Puskesmas Simalingkar, pejabat kementerian tersebut meminta agar kasus tersebut tidak diteruskan dan pungutan tersebut diikhlaskan saja sebagai hibah. Kompromi terhadap tindak pungli membuat pungli terlihat sebagai kearifan lokal di negeri ini. Pungli menjadi pelumas untuk menggerakkan roda birokrasi.