Lihat ke Halaman Asli

Fantasi

Usaha Mikro

Anies Ingin Menjadi Pahlawan Perang Badar, Ahok Ingin Menjadi Pahlawan Demokrasi

Diperbarui: 19 April 2017   07:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar : http://pilkada.liputan6.com/read/2852759/anies-gunakan-peraga-ahok-perlihatkan-foto-saat-debat-cagub-dki

"Pertemuan kita malam ini, menuju Perang Badar besok,.. " kata Anies Baswedan, salah satu calon gubernur DKI Jakarta dalam suatu jamuan makan malam pada tanggal 18 April 2017, sehari menjelang Pilgub DKI putaran kedua.

Seandainya ucapan itu berasal dari Amien Rais - yang juga hadir dalam pertemuan itu - tidak akan banyak yang terkejut. Sikap menyamakan proses demokrasi dengan perang sudah ditunjukkan oleh Amien Rais sejak Pilpres 2014. Lidahnya yang tajam memang tak jemu memprovokasi, termasuk dengan mengatakan bahwa dalam Pilkada DKI 2017 ada penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah.

Tapi, bagaimana bisa pernyataan yang menganalogikan pemilihan kepala daerah dengan pertempuran agama keluar dari mulut Anies Baswedan yang pernah mendengungkan istilah "tenun kebangsaan" sebagai gambaran ikatan dalam kebhinekaan NKRI ? Bagaimana bisa perebutan kursi gubernur DKI oleh dua paslon yang sama-sama WNI, yang sama-sama memiliki hak konstitusi, yang sama-sama melalui proses yang sah, yang sama-sama didukung oleh warga negara Indonesia yang sah,..., mendadak oleh Anies dipersepsikan sebagai pertarungan kaum Muslim dengan musuh Islam yaitu kaum Quraisy dari Mekah. 

Anies boleh saja mengelak mengatakan bahwa analogi Perang Badar terbatas untuk menggambarkan perang antara yang lemah dengan yang kuat. Tapi, analogi ini tak tepat. Jika di Perang Badar kekuatan Nabi (313 pasukan) melawan kelompok musuh (950 pasukan) tampak tidak sebanding, dalam Pilkada DKI 2017 "pasukan" Anies Baswedan malah sekarang berada di atas angin. Lebih banyak hasil survei yang menjagokan Paslon 3 (Anies Baswedan - Sandiaga Uno) dibandingkan yang memprediksikan kemenangan Paslon 2 (Basuki Tjahaja Purnama - Djarot Saiful Hidayat).

Kalau pun mau membandingkan antara yang kuat dan yang lemah, mengapa menggunakan simbol dari agama ? Mengapa tidak menggunakan analogi semut dan gajah atau Daud dan Goliath, yang dikenal banyak orang ? Bukankah terang benderang bahwa penggunaan simbol agama itu bertujuan membangkitkan sentimen keagamaan ?  Mengapa dalam proses demokrasi ada lawan yang diposisikan sebagai musuh Islam ?

Sungguh ironi. Jamuan makan malam menjelang Pilgub DKI itu diselenggarakan oleh seorang pendukung Anies bernama Hary Tanoesoedibjo, seorang Kristen Protestan yang beristrikan Liliana Tanoesoedibjo yang pencipta lagu rohani Kristen. Lebih ironis lagi, beberapa hari lalu di running text di iNews TV milik Hary Tanosedibjo ditayangkan himbauan dari Pendeta Aristo Purboadji kepada umat Kristiani di DKI Jakarta untuk memilih pasangan Anies-Sandi.

Kontras dengan Anies yang berakrobat dengan sentimen keagamaan, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok adalah orang yang menempatkan konstitusi di atas segala-galanya dalam proses bernegara. Hukum konstitusi, bagi Ahok, bahkan lebih berkuasa dibandingkan hukum Kitab Suci dalam urusan bernegara. Pernyataan Ahok ini sempat menimbulkan kehebohan, tapi kemudian mereda karena orang-orang mulai sadar bahwa dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Pancasila, yang tidak mengistimewakan satu kitab suci dibandingkan kitab suci lainnya dalam mengatur kehidupan bernegara.  

Dalam satu kesempatan (27/12/2016), Ahok yang harus duduk di kursi tersangka di pengadilan karena dituding melakukan penodaan agama oleh kelompok orang yang dimotori ormas-ormas yang anti kebhinekaan, berkata bahwa dia tidak malu menghadapi pengadilan atas tuduhan yang dicari-cari itu. "Saya akan sedih, malu kalau duduk karena korupsi. Ini saya anggap pahlawan demokrasi," begitu Ahok melihat keadaan dirinya.

Jika Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 adalah proses demokrasi dalam arti sebenarnya, maka dia yang memperjuangkan demokrasi - kesetaraan SELURUH warga negara dalam menentukan jalannya pemerintahan - adalah pilihan terbaik. Tapi, jika Pilgub DKI 2017 adalah sekedar kamuflase bagi sebuah "perang Badar" (kaitkan pula dengan kamuflase Tamasya Al-Maidah ke Tempat Pemungutan Suara yang poster-posternya mengajak "pejuang Islam" untuk berpartisipasi), maka kiss goodbye to democracy.  

Jika hari ini Paslon Basuki-Djarot diberi kepercayaan oleh warga DKI Jakarta untuk melanjutkan kepemimpinan di provinsi ini, kita bisa berharap bahwa di masa depan demokrasi masih menjadi salah satu pilar kebernegaraan NKRI. Jika Paslon Anies-Sandi memenangkan peperangan besar yang ada di benak mereka, maka di dalam kamus kita akan menemukan Perang Badar sebagai padanan bagi demokrasi Indonesia.  

Sumber  :

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline