Bermula dari seorang teman yang sudah lama tak bersua dan mendadak mampir ke rumah lalu mengajak berbincang dengan hangat tentang masa-masa lalu. Namun, tak lama kemudian dia menjabarkan "misi" yang sesungguhnya : memperkenalkan dan menawarkan asuransi terkait investasi (unit link). Saya sebenarnya tak begitu tertarik, karena merasa tak punya dana lebih. Tapi, tak enak hati langsung menolak (ini tak sudah jadi strategi para agen bisnis multi level dan asuransi), terpaksa saya mendengarkan presentasinya.
Dengan menunjukkan kinerja berbagai skema unit link yang hasilnya jauh di atas bunga deposito dan terlindungi pula apabila mengalami musibah, dia mencoba meyakinkan saya betapa bijaksananya dan bertanggung-jawabnya orang tua yang berinvestasi sambil berasuransi. Singkat cerita, dia berhasil membujuk saya ikut asuransi unit link dengan anak saya sebagai tertanggung. Premi yang relatif kecil tidak menjadi masalah, begitu katanya. Selling pitch yang digunakan teman saya untuk meyakinkan saya : tidak sampai sepuluh tahun, hasil investasi sudah cukup untuk menutup biaya asuransi, tinggal menikmati manfaat pengembangan dananya.
Kunjungan itu terjadi lebih dari sepuluh tahun lalu.
Alih-alih mendapatkan manfaat belasan persen seperti yang diiming-imginkan pada saat saya mulai menjadi nasabah asuransi, nilai netto investasi saya sekarang tinggal sekitar 75% (tiga perempat) dari seluruh premi dan top-up yang saya bayarkan dalam kurun lebih dari sepuluh tahun ini. Tentu saja saya mengerti bahwa sebagian dari premi dan top-up yang saya setorkan secara periodik ke perusahaan asuransi terpakai untuk biaya asuransi. Juga mengerti, bahwa investasi dalam unit link memiliki risiko - kinerja masa lalu tidak selalu mengindikasikan kinerja masa datang.
Begitulah kenyataan pahitnya. Kinerja dana unit link pada saat yang pada saat saya ditawari asuransi tersebut mencapai rata-rata 23,68 %, namun ternyata dalam lima tahun terakhir ini hanya mencapai 3,54%. Angka ini hanya sekitar 50% dari bunga deposito. Pantas saja, setelah sepuluh tahun lebih, bukannya bisa terlepas dari beban asuransi, malah dana yang saya simpan sebagai investasi pun tergerus dari waktu ke waktu.
Seorang teman yang aktif bermain saham di bursa efek tertawa mendengar nasib asuransi unit link saya. Sejak sekitar tiga tahun lalu dia telah mengingatkan saya untuk menutup saja asuransi unit link itu dan berinvestasi di bursa saham dengan membeli saham blue chip dan membuka rekening asuransi jiwa secara terpisah. Biaya asuransi akan jauh lebih murah, sementara strategi investasi bisa kita atur sendiri tanpa harus dibebani biaya (tersembunyi) untuk membayar para fund manager dan komisi para agen yang begitu menggiurkan di perusahaan asuransi unit link.
Menurutnya, kalau pun tak ingin berinvestasi langsung di bursa, masih lebih baik berinvestasi di reksa dana daripada memercayakan dana pada asuransi unit link. Saya sudah mengikuti sarannya untuk berinvestasi di bursa saham sejak beberapa waktu lalu dan melihat kebenaran kata-katanya dan sekarang saya pikir saatnya untuk menutup saja akun asuransi unit link saya.
Lagi pula, teman saya yang menjadi agen asuransi tak pernah mampir lagi. Hanya namanya saja yang selalu terpampang di sudut kanan di setiap laporan transaksi yang saya terima secara periodik dari perusahaan asuransi. Nasihat dari seorang teman - khususnya yang sudah menjadi agen asuransi - tidak selalu merupakan nasihat terbaik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H