Lihat ke Halaman Asli

Fantasi

Usaha Mikro

(Catatan Perjalanan 2): Bromo Tanpa Sunrise

Diperbarui: 16 April 2017   21:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mendaki Kawah Bromo (Dokumen Pribadi)

Berjalan-jalan ke Bromo dan menyaksikan matahari terbit di puncak gunung sudah menjadi wacana di rumah kami sejak beberapa bulan yang lalu. Rencana liburan dan mengunjungi keluarga di Semarang akhir tahun ini membuka kesempatan untuk mengunjungi tempat yang menjanjikan spot foto yang eksotis yang berada di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru itu. Mengambil foto-foto di puncak Bromo merupakan impian istri saya yang punya hobi menjepret. Sayangnya, impian itu tak ditindaklanjuti dengan perencanaan yang matang. Saya yang punya kesibukan lumayan tinggi hingga pada saat menjelang hari keberangkatan memercayakan istri untuk mengatur itinerary setelah saya memastikan waktu "cuti colongan" saya. Saya hanya memesankan tiket pesawat untuk berangkat dan pulang.

Bromo adalah tujuan utama, tetapi kami mampir terlebih dahulu di Batu Malang. Saya sudah mengingatkan untuk mencari tahu segala sesuatu tentang akomodasi, transportasi, harga dan persiapan ke Bromo. Tapi, hingga sore pada hari terakhir di Malang, kami tak punya kepastian bagaimana cara kami ke Bromo. Karena saya masih terus disibukkan untuk menyelesaikan secara online urusan pekerjaan yang saya tinggalkan, saya tak cukup waktu untuk memeriksa secara seksama alternatif yang kami dapat melalui intenet. Baru pada siang pada hari terakhir saya sempat mencari tahu dan menghubungi beberapa penyelenggara tour dan penyedia layanan travel. Tidak ada travel yang melayani hingga ke lokasi dekat tempat pendakian, harus menggunakan kendaraan umum secara berantai. Naik bis dan angkutan pedesaan akan menyita waktu dan sangat tidak nyaman, apalagi kami membawa koper. Hendak memesan tour reguler (bergabung dengan orang lain) juga sudah terlambat.

Sempat terpikir untuk membatalkan saja, tapi saya tahu isteri akan kecewa luar biasa. Sekitar pukul 19.00 saya berdiskusi panjang dengan pengelola homestay dan satu-satunya kemungkinan untuk tetap berangkat adalah dengan tour privat. Tidak melalui Probolinggo yang merupakan rencana semula kami, tapi melalui jalur Pasuruan. Berangkat malam itu juga dari Batu dengan mobil carteran, tour di Bromo dengan kendaraan 4 wheel drive dan dengan mobil carteran yang sama diantar ke Surabaya. Biayanya menjadi jauh lebih mahal dan berlipat  dibandingkan biaya tour reguler yang menurut informasi hanya sekitar Rp. 350.000 per orang. Tapi, sudahlah, sayang istri sayang anak, saya akhirnya sepakati biaya yang melampaui anggaran itu.

Tepat tengah malam kami dijemput dari penginapan. Naik Avanza yang hanya diisi kami bertiga dengan driver yang ramah, kami meninggalkan Kota Batu menuju Kecamatan Tosari di Kabupaten Pasuruan. Sementara anak dan istri terlelap di kursi tengah, saya habis-habisan menahan kantuk mengobrol dengan driver. Tak banyak yang bisa dilihat apalagi setelah meninggalkan daerah perkotaan, bahkan di daerah tertentu di kiri kanan jalan yang terlihat hanya kegelapan semata. Sekitar pukul 02.30 (saya tak mencatat dan tak ingat, itu salah satu kelemahan saya yang membuat tak pintar menulis pengalaman) kami tiba di Tosari. Kebetulan lagi ada pemadaman listrik - gelap gulita, hanya ada cahaya lampu mobil. Dalam cahaya terbatas saya bisa melihat puluhan kendaraan 4 wheel drive tipe Toyota Hardtop berseliweran. Itu kendaraan yang akan membawa pengunjung ke lokasi terdekat ke puncak gunung.

Selang beberapa saat menunggu, kami diarahkan pindah ke salah satu mobil Toyota Hardtop. Mungkin sekitar pukul 03.00. Barang-barang kami tinggalkan di Avanza.Udara di luar dingin sekali, padahal kami sudah memakai tiga lapis baju plus jaket. Panjangnya iring-iringan kendaraan 4 wheel drive menunjukkan ramainya pengunjung yang melalui jalur yang dikenal dengan nama Penanjakan 1. Sempat turun hujan dan kekuatiran mulai muncul - bagaimana nanti di puncak. Perjalanan hanya sekitar setengah jam dan begitu tiba di parkiran kami disambut oleh orang-orang yang menyewakan mantel tebal. Kami meminjam 3 mantel, biayanya - setelah menawar - Rp. 10.000 per stel. Memang sudah terlihat butut, tapi masih bisa menahan dingin, apalagi ada kupluknya, sehingga wajah dan telinga terasa hangat.

Masih terlalu dini untuk mendaki, kami singgah di warung yang menjajakan gorengan dan mie instan rebus. Banyak penjual jagung di sepanjang jalan setapak ke arah menara pandang. Sepotong pisang yang baru diangkat dari penggorengan dan teh panas membantu memberi kehangatan. Ketika melihat orang-orang mulai bergerak berjalan ke atas, kami ikut. Gerimis menerpa wajah. Jarak ke puncak tak begitu jauh. Mungkin antara 200 meter hingga 500 meter (saya payah dalam menaksir jarak). Tidak begitu terjal. Beberapa pengunjung yang relatif tua masih mampu menjalaninya.

Ternyata di lokasi menara pandang sudah banyak orang yang duduk di pelataran yang disusun sebagai tempat duduk bertingkat beralaskan tikar plastik yang bisa disewa Rp. 10.000. Saya perkirakan ada ratusan orang. Hampir semua siap dengan kamera - mulai dari kamera handphone hingga kamera berlensa tele atau wide yang dipasang pada tripod. Kami mengambil posisi di bibir pelataran dengan harapan melihat matahari tanpa terhalang oleh orang lain.

Pukul 04.00. Pukul 04.30. Pukul 04.45. Pukul 05.00. Pukul 05.15. Pukul 05.30. Hanya ada kabut dan awan yang terlihat. Sesekali kabut menyisih dan membiarkan beberapa garis cahaya matahari mengintip. Tapi, tak ada matahari terlihat. Tak ada sunrise bisa dipotret. Perjalanan panjang dari Batu Malang menembus malam gelap dan dingin terasa berakhir dengan anti klimaks. Ketika remang pagi memastikan kami kehilangan kesempatan untuk menyaksikan kemegahan matahari bangkit dari tidur, beberapa orang meninggalkan pandangan ke arah ufuk Timur dan mulai sibuk saling memotret dengan latar belakang apa pun yang ada di sekitar. Termasuk kami.

Sunrise Yang Gagal Terlihat di Suatu Pagi di Puncak Bromo (Dokumen Pribadi)

Sekitar pukul 06.00 kami turun dari menara penatapan, mengembalikan mantel dan menaiki kendaraan menunju kawasan pasir berbisik. Hamparan pasir yang sangat luas menjadi daya tarik utama. Biasanya debu akan mengganggu pernafasan sehingga kami sudah menyiapkan masker, tetapi karena baru turun hujan, pasir mengeras dan tak ada debu beterbangan. Udara terasa cukup segar, tapi sayangnya kami tak bisa mendengar bisikan pasir yang dibawa angin. Kami berhenti di salah satu spot yang tampak menarik untuk berfoto. Ah, wisata ini memang jadi berfokus pada potret memotret.

Holiday Makers di Lautan Pasir (Dokumen Pribadi)

Selepas itu kami melanjutkan perjalanan ke savanah alias padang rumput yang sangat kontras dengan lautan pasir yang baru kami lewati. Di sini bukit-bukit hijau yang mirip dengan yang ada di serial teve Teletubbies (dan menjadi nama populer savanah ini) menyejukkan mata. Alam memang menakjubkan. Hamparan tetumbuhan dengan gradasi hijau seperti lembar-lembar selimut yang menyelubungi bebukitan.

Padang Savanah Telettubies (Dokumen Pribadi)

Akhir dari tour Bromo adalah mengunjungi kawah. Untuk mencapai kawah bisa berjalan kaki atau menempuh sebagian dengan menyewa kuda dan sisanya dengan berjalan kaki. Rasa lelah membuat kami mengurungkan niat untuk menapaki beberapa ratus anak tangga terjal menuju ke bibir kawah. Tapi memandang dari jauh pun sudah cukup untuk menikmati kemegahan Bromo. Sementara putri kami yang ABG berkuda mengitari lapangan luas yang menuju kawah, kami mengambil foto-foto di sekitar lokasi. Sekitar pukul 09.30 Toyota Hardtop membawa kami kembali ke Tosari dan ditransfer ke mobil Avanza yang mengantar kami ke Surabaya.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline