Lihat ke Halaman Asli

Fantasi

Usaha Mikro

Setelah Mengancam Mengusir Enam Perkebunan Sawit Raksasa, Akankah Indonesia Mengusir Unilever?

Diperbarui: 19 Februari 2016   08:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Berita tak sedap berhembus dari Kementerian Pertanian. Enam perusahaan perkebunan sawit besar di Indonesia diancam akan diusir oleh Direktur Jenderal Perkebunan dari wilayah Indonesia. Keenam perusahaan raksasa itu dianggap membandel - tidak mau membubarkan diri dari organisasi IPOP (Indonesian Palm Oil Pledge) yang mempersyaratkan membeli sawit hanya dari perkebunan yang ramah lingkungan. Enam anggota IPOP saat ini adalah Wilmar Indonesia, Cargill Indonesia, Golden Agri Resources, Asian Agri, Musim Mas Group dan - yang baru saja bergabung secara formal beberapa hari yang lalu - Astra Agro Lestari.

Standar yang diterapkan IPOP menyebabkan sebagian besar perkebunan rakyat tak bisa menjual tandan buah segar mereka kepada keenam perusahaan yang secara kumulatif menguasai hampir 90% produksi TBS dan CPO Indonesia. Lebih runyam lagi, hasil kebun rakyat juga tak akan diterima oleh pabrik atau perkebunan lain yang produksinya akan dijual ke salah satu penandatangan kesepakatan IPOP tersebut. Alasannya : keenam anggota IPOP juga tak akan menerima CPO yang terlacak diproses dari kelapa sawit yang berasal dari kebun yang tak memenuhi standar IPOP.

Setelah didera oleh rendahnya harga jual tandan buah sawit, sekarang perkebunan sawit kecil yang diusahakan rakyat harus berhadapan dengan pembeli yang tak mau menerima hasil kebun mereka. Apes sekali nasib para pengusaha sawit kecil. Tiga juta kepala keluarga di 190 kabupaten yang hidupnya tergantung pada sawit rakyat terancam kehidupannya. Pemerintah berang. Ancaman mengusir perusahaan, membekukan izin usaha dan mencabut izin usaha pun dikeluarkan. Seperti biasanya pula, ada anggota DPR yang mendukung langkah pemerintah itu.

Tapi, haruskah langkah mengusir itu dilakukan ?

Industri minyak sawit ini sudah bermasalah dengan lingkungan sejak lama. Kebakaran dan pembakaran hutan yang menyiksa penduduk Indonesia serta negara jiran beberapa waktu yang lalu ditengarai berkaitan dengan pembukaan lahan-lahan perkebunan sawit. Rusaknya dan hilangnya habitat orang hutan, harimau, gajah dan berbagai biota akibat konversi hutan tropis menjadi perkebunan sawit monokultur sudah lama menjadi keprihatian para pemerhati lingkungan.

Ironisnya, IPOP dibuat dalam rangka memenuhi persyaratan agar produk perkebunan sawit diterima oleh industri hilir yang menerapkan standar lingkungan untuk memenuhi tuntutan konsumen akhir mereka yang menolak (memboikot) produk yang dihasilkan dengan merusak lingkungan. IPOP yang pertama kali ditandatangani pada September 2014 di sela-sela forum UN Climate Summit di New York merupakan ikrar perusahaan sawit Indonesia untuk mengedepankan produksi minyak kelapa sawit berkelanjutan, mampu memberikan lebih banyak manfaat sosial dan menjadikan pasar minyak kelapa sawit Indonesia semakin kompetitif.

Implementasi dari ikrar ini, antara lain adalah : (a) tidak menggunakan lahan hutan (deforestasi) untuk ekspansi kebun, (b) tidak membangun kebun di lahan gambut, (c) tidak menggunakan lahan berkarbon tinggi (HCS) dan (d) tidak menerima atau menampung tandan buah segar (TBS) dan CPO dari kebun sawit hasil deforestasi, lahan gambut dan HCS.

Bagi perusahaan yang tergabung dalam IPOP, persyaratan yang harus mereka penuhi sebenarnya juga memberatkan perusahaan sendiri. Grup Wilmar menghentikan pembukaan hutan seluas 18.860 ha yang sedianya direncanakan menjadi perkebunan sawit; demikian pula Golden Agri Resources (GAR) menghentikan salah satu unit usaha sawitnya yang memiliki lahan seluas 20.143 ha. Akibat pengimplementasian IPOP, GAR mengalami gangguan produksi karena harus memutuskan hubungan bisnis dengan beberapa pemasoknya yang terindikasi melakukan deforestasi.

Astra Agro Lestari (AAL) yang baru tanggal 15 Februari 2016 menandatangani keanggotaannya secara remsi sebagai di IPOP bukan tanpa beban bergabung dengan kelompok ini. Late comer AAL, sebelumnya menganggap ketentuan tidak menggunakan lahan high conservation value (HCV) dan high conservation stok (HCS) untuk perkebunan sebagai ketentuan sangat tidak masuk akal karena tidak ada basis regulasi di Indonesia. Lahan demikian dianggap akan menjadi lahan terlantar apabila dikembalikan kepada Pemerintah. Namun, belakangan AAL berubah arah, menyesuaikan diri dan ikut menjadi pendukung IPOP.

Di satu pihak Pemerintah Indonesia menginginkan pembangunan berkelanjutan, tetapi di sisi lain ada jutaan jiwa yang menggantungkan hidupnya di lahan-lahan yang menyalahi standar IPOP. Karena itu, Pemerintah menolak IPOP. Definisi 'deforestasi' menjadi ajang perdebatan. Begitu pula mengenai perkebunan - yang sudah terlanjur dilakukan - di atas lahan gambut.

Jika mengikuti IPOP juga menjadi beban bagi perusahaan, mengancam kehidupan rakyat dan membuat Pemerintah berang, apa alasan enam perusahaan sawit terbesar di tanah itu mendeklarasikann IPOP ? Pasar !

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline