Kasus seorang pemuda bernama MA yang ditangkap polisi karena menyebarkan berita bohong dan fitnah di media sosial dijadikan komoditas politik oleh sejumlah petinggi partai negeri ini. Masalah hukum tersebut merembet ke ranah politik karena kebetulan yang menjadi pihak pengadu yang merasa difitnah adalah seorang tokoh politik yang menjadi lawan mereka. Alasan bahwa pihak pengadu adalah "orang kecil" yang perlu dikasihani digunakan untuk membenarkan perilaku melawan hukum, dan karenanya layak untuk dibebaskan dari tuntutan.
Bukankah ini aneh ?
Di satu sisi orang-orang meneriakkan agar hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, tapi di sisi lain mereka meminta hukum diabaikan dan bertoleransi dengan pelanggaran oleh "orang kecil" ataupun pelanggaran "kecil-kecilan".
Di televisi baru saja saya melihat berita tentang seorang pemilik kendaraan yang memarkirkan mobilnya di tempat terlarang di wilayah DKI Jakarta. Orang tersebut menghalangi upaya petugas membawa kendaraannya dan dengan beringas memukul salah seorang petugas. Hebatnya lagi, si pelanggar hukum malah menyebut-nyebut kenal dengan Ahok!
Kendaraan roda dua yang ditunggangi melawan arah adalah pemandangan lazim di banyak kota di negeri ini. Perilaku ini dianggap layak ditoleransi agar para pemotor bisa menghemat waktu.
Mendirikan kios dan berdagang di atas parit atau jalur hijau dianggap sebagai hak hidup orang-orang kecil. Begitu pula Pedagang Kaki Lima yang berjualan di bahu-bahu jalan di luar gedung pasar dianggap wajib ditolerir oleh para pengguna jalan raya yang harus menghadapi kemacetan dan oleh para pedagang resmi yang berada di dalam gedung pasar yang harus gigit jari karena PKL tak legal tersebut mengambil lokasi yang lebih strategis.
Pelanggaran kecil dan pelanggaran oleh orang kecil tetaplah perbuatan melawan hukum. Jika kita menginginkan negeri ini dikelola sebagai negara hukum, maka kita harus membiarkan hukum yang menetapkan ganjaran yang sesuai bagi setiap pelanggaran. Jika besarnya ganjaran dipandang tidak sesuai, maka adalah tugas pembuat undang-undang dan peraturan untuk membenahi ketentuan hukum. Sangat aneh jika para pembuat aturan hukum meminta hukum diabaikan dengan alasan pelanggaran tersebut dilakukan oleh "orang kecil". Semakin aneh pula ketika ditambahkan pula alasan bahwa pelanggaran seperti itu dilakukan oleh ratusan ribu orang lain di media sosial dan saat ini belum diberi ganjaran sesuai hukum yang berlaku.
Tersangka MA, menurut berita, adalah "orang kecil". Tapi, status "orang kecil" tersebut tak seharusnya mengurangi kedudukan, hak dan tanggung-jawabnya di mata hukum. Sama seperti kita menginginkan hukum melindungi semua orang tanpa pandang bulu, maka kita pun menginginkan hukum tak membeda-bedakan "orang besar" dan "orang kecil" dalam memutuskan benar salahnya suatu perbuatan.
Negara melindungi seluruh warga negara. Bagi warga negara yang tak memiliki kemampuan untuk mendapatkan dan mempertahankan haknya, negara bahkan wajib memberikan bantuan hukum. Tapi, sama seperti "orang besar" tak boleh menghindar dari tuntutan hukum di balik kekuasaan dan kekayaannya, maka "orang kecil" pun tak boleh berlindung di balik status "orang kecil". Hanya jika hukum ditegakkan secara konsisten bagi "orang kecil" dan "orang besar" serta bagi "perkara kecil" dan "perkara besar", kita bisa menyebut negara kita adalah negara hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H