Lihat ke Halaman Asli

Fantasi

Usaha Mikro

Tentang Hukuman Mati

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jarang  menonton televisi, saya malam ini tanpa rencana terpacak di depan layar kaca menyaksikan acara Mata Najwa di Metro TV. Topiknya tentang pro kontra mengenai hukuman mati.

Beberapa narasumber seperti Gayus Lumbuun (hakim MA), Henry Yosodiningrat (anggota DPR, aktivis anti narkoba), Mahfud MD (mantan Ketua MK), Alaraf (Direktur Imparsial), seorang dari Komnas HAM dan seorang pengacara terpidana hukuman mati (dari Kontras). Berbagai argumen diberikan oleh orang yang pro terhadap hukuman mati (Gayus, Henry, Mahfud) dan oleh orang yang anti terhadap hukuman mati (Imparsial, Komnas HAM dan Kontras).

Setelah acara talk show, hasil polling menunjukkan bahwa jumlah penonton di studi yang setuju akan hukuman mati 83% dan menolak 17%; proporsi yang setuju lebih tinggi dibandingkan dengan hasil polling sebelum penonton mendengar argumen dari para narasumber.

Argumen yang pro menekankan bahwa hukuman mati adalah pelaksanaan Undang-undang dan hukum yang berlaku di negeri ini, sedangkan yang kontra berkilah bahwa hukuman tersebut bertentangan dengan Undang-undang dan Mahkamah Konstitusi tidak konsisten dalam menafsirkan UU ketika menolak  penghapusan hukuman mati.

Pihak yang kontra menunjukkan bahwa semakin banyak negara yang menghapuskan hukum mati, sedangkan yang pro mengatakan bahwa kondisi setiap negara berbeda. Lebih lanjut, pihak yang kontra mengajukan keberatan atas hukuman mati karena di Indonesia penegakan hukum masih buruk dan terjadi banyak rekayasaya; sementara itu,pihak yang pro mengatakan bahwa kasus kekeliruan dalam proses pengadilan atau rekayasa hanyalah segelintir dan tidak cukup menjadi alasan untuk menghapuskan hukum mati.

Saya cenderung setuju agar hukuman mati saat ini tetap dijalankan di Indonesia dan dilakukan eksekusi, khususnya untuk kasus-kasus pengedaran narkoba dimana para bandar yang sudah dihukum dan berada di dalam penjara masih terus menjalankan bisnis bejatnya dari balik jeruji besi. Usulan Mahfud MD agar hukuman mati juga diberikan kepada koruptor sangat saya sepakati. Kejahatan korupsi yang begitu besar dan telah memorak-porandakan ekonomi dan pembangunan Indonesia adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Para penolak hukuman mati membela hak hidup terpidana hukuman mati dan menyepelekan hak hidup para korban dan calon korban jika mereka dibiarkan terus hidup.

Argumen bahwa negara melakukan kekejian dan melanggar HAM jika mengambil nyawa seorang terpindana hukuman mati saya anggap aneh. Jika demikian, memenjarakan narapidana juga bisa saja dianggap sebagai pelanggaran HAM. Mengatakan bahwa hak hidup dan nyawa seseorang ada di tangan Tuhan juga tak cukup beralasan; ada agama yang membolehkan hukuman mati. Mengada-ada mengatakan bahwa hukuman mati adalah tanda bahwa sebuah negara tidak beradab.Argumen bahwa negara melakukan kekejian dan melanggar HAM jika mengambil nyawa seorang terpindana hukuman mati saya anggap aneh. Jika demikian, memenjarakan narapidana juga bisa saja dianggap sebagai pelanggaran HAM. Mengatakan bahwa nyawa seseorang hanya boleh diambil oleh  Tuhan juga tak cukup beralasan; ada agama yang membolehkan hukuman mati. Berlebihan jika pihak yang anti hukuman mati mengatakan bahwa hukuman mati adalah tanda bahwa sebuah negara tidak beradab.

Pihak yang kontra hukuman mati bahwa hukuman tersebut tak menimbulkan efek jera, terlihat dari kejahatan yang diberi hukuman mati ternyata terus semakin meningkat saja. Mereka juga berkilah bahwa hukuman mati adalah tindakan balas dendam dari negara. Kedua argumen ini menurut saya juga lemah dan mengada-ada. Hukuman mati adalah mencegah pelaku mengulangi kejahatannya (melanjutkan perilakunya bahkan di dan dari dalam bui, dan akhirnya memberi kesan bahwa kejahatan keji tersebut ditoleransi oleh masyarakat) dan menularkan perilaku buruknya kepada orang lain di sekitarnya. Jika dikatakan tidak menimbulkan efek jera, cobalah dibandingkan korupsi di Tiongkok dimana koruptor dihukum mati dengan di Indonesia dimana koruptor diberi remisi dan tinggal di sel VIP berfasilitas hotel.  Seperti kata Mahfud MD, apakah hukuman mati menimbulkan efek jera atau tidak terhadap calon pelaku kejahatan yang sama masih spekulatif. Tapi, pasti : pelaku kejahatan tersebut akan berhenti mengulangi kejahatannya jika sudah dieksekusi.

Satu-satunya alasan yang cukup kuat tentang penghapusan hukuman mati adalah kekuatiran bahwa orang-orang yang telah dieksekusi kemudian diketahui tidak bersalah. Dalam hal ini, saya setuju bahwa hukuman mati haruslah dilakukan dengan sangat cermat. Dalam beberapa kasus seperti pembunuhan berencana, ini memang bisa sangat pelik pembuktiannya. Namun, dalam kasus peredaran narkoba (dimana pelaku tertangkap tangan dan ada bukti cukup bahwa yang bersangkutan adalah bandar besar) dan korupsi  kelas kakap (dimana KPK punya bukti yang cukup harta kekayaan yang ditimbun pelaku dan komunikasi terpidana hasil sadapan KPK nyata-nyata menunjukkan korupsi tersebut dilakukan oleh terpidana), tak perlu berlama-lama untuk melakukan eksekusi bagi terpidana hukuman mati. Kepastian hukum adalah salah satu tanda bahwa Indonesia memang negara hukum.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline