Pemilihan kepala daerah serentak telah berlangsung pada Rabu, 9 Desember 2015 lalu. Secara umum Pilkada serentak kemaren berjalan lancar. Hal ini menunjukkan kematangan demokrasi yang makin menggembirakan dan dapat menjadi contoh negara-negara lain. Meski berjalanan lancer, pelaksanaan Pilkada serentak masih menyimpan banyak persoalan. Persoalaan utama adalah rendahnya partisipasi pemilih dan maraknya politik uang.
Partisipasi pemilih secara umum relatif rendah, tidak lebih 60 persen. Rendahnya partisipasi pemilih terjadi hampir di seluruh daerah yang menyelenggarakan Pilkada Serentak di Indonesia. Bahkan Pilkada Medan hanya diikuti 30 persen pemilih. Kenyataan ini meleset dari target partisipasi pemilih yang ditetapkan KPU dan pemerintah, yaitu 77,5 persen.
Di Sumatera Selatan, tingkat partisipasi pemilih di 7 kabupeten yang mengikuti gelaran Pilkada serentak yakni 70,05 persen. Partisipasi tertinggi secara persentase diperoleh oleh pilkada Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) sebesar 73,03 persen. Di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah dari target 77,5 persen, hanya 67,42 persen.
Tidak jauh berbeda dengan Kota Surabaya, Jawa Timur. Kota Surabaya mengakui tingkat partisipasi masyarakat dalam Pilwali Tahun ini tak mencapai target, yakni hanya mampu mencapai 52,17 persen. Hal ini menunjukan popularitas calon tidak banyak membantu meningkatkan partisipasi pemilih.
Partisipasi pemilih yang tidak melampaui ini, dipengaruhi oleh tingkat sosialisasi yang diselenggarakan oleh penyelenggara pemilihan. Selain itu, keterbatasan pilihan atas jumlah pasangan calon dan situasi politik ditingkat nasional juga ikut mempengaruhi.
Masyarakat melihat tidak ada korelasi antara proses pemilihan dengan kinerja pemimpin daerah yang dengan langsung bisa dinikmati masyarakat. Kondisi ini diperburuk dengan kampanye yang tidak mengedepankan adu program. Melainkan hanya adu popularitas dan adu finansial.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) setidaknya menemukan praktik politik uang di 29 Kabupaten/Kota yang menyelengarakan Pilkada Serentak. Menurut data Bawaslu, modus politik uang yang paling banyak dilakukan adalah pembagian uang atau barang kepada pemilih. Untuk pembagian uang, Bawaslu menemukan sedikitnya ada 13 daerah. Jumlah uang yang dibagikan juga bervariasi, mulai dari 100 ribu rupiah hingga 600 ribu rupiah.
Pilkada telah merusak mentalitas dan karakter bangsa. Rakyat skeptis terhadap Pilkada karena banyak rekayasa. Ada politik uang, ada kecurangan, Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) serta calon-calon kepala daerah banyak yang tidak layak dan tak bermutu. Rakyat telah dibodohi, dikibuli penguasa zalim, politisi busuk dan pengusaha culas. Pembangunan demokrasi dan sistem politik Indonesia tidak Pancasilais.
Selain partisipasi pemilih yang rendah dan politik uang, pilkada serentak juga meninggalkan jejak buruk yang lain, yakni penundaan Pilkada di lima daerah. Lima daerah yang tertunda pelaksanaan Pilkada sehari jelang pencoblosan adalah Provinsi Kalimantan Tengah, Kota Pematangsiantar di Sumatera Utara, Kabupaten Simalungung di Sumatera Utara, Kota Manado di Sulawesi Utara dan Kabupaten Fak-Fak di Papua Barat.
Masalah penundaan pelaksanaan Pilkada di masing-masing lima daerah tersebut tidak lain adalah konflik calon yang tidak menemukan titik tengah hingga pada hari H pelaksanaan Pilkada serentak. Sebelumnya, kasus pencoretan calon/ pasangan calon oleh KPU setelah memasuki masa kampanye (September-November) sudah diprediksi akan memunculkan konflik.
Di Manado, Sulawesi Utara kasus pencoretan dilakukan karena KPU setempat meloloskan kembali pasangan Jimmy Rimba Rogi-Bobby Daud sebagai peserta pilkada, meskipun Jimmy berstatus napi kasus korupsi dengan status bebas bersyarat. KPU pusat menegaskan calon dengan status bebas bersyarat tidak dapat mengikuti pilkada. KPU pusat mengaku segera memerintahkan KPU Sulawesi Utara untuk mencoret kembali pasangan tersebut.