Lihat ke Halaman Asli

Semangat "Hijau" dan Pembunuhan di Riau

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

PBB mendefinisikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai suatu "kelompok masyarakat swadaya nirlaba, yang dikelola di tingkat lokal, nasional, maupun internasional untuk menangani isu-isu yang mendukung kemaslahatan umum. Beriorientasi pada tugas dan terdiri dari orang-orang yang memiliki kepentingan yang sama, LSM melaksanakan berbagai macam pelayanan dan fungsi-fungsi kemanusiaan, mengangkat kekhawatiran masyarakat ke hadapan pemerintah, memantau implementasi kebijakan dan program, serta mendorong partisipasi pemangku kepentingan masyarakat sipil di tingkat komunitas."[1]


Seperti halnya dengan semua kebaikan dalam hidup dapat berubah mudarat, LSM dapat pula membawa mudarat. Dalam beberapa kasus, motif suatu LSM yang pada awalnya altruistis dapat disulap menjadi tameng bagi keserakahan. Pada akhirnya, LSM tersebut tidak lagi nirlaba, atau tidak lagi menangani isu-isu yang mendukung kemaslahatan publik, dan menjalankan fungsi serta pelayanan kemanusiaan sebagaimana mestinya.


Masyarakat Indonesia dan ekspatriat yang telah cukup lama menetap di Indonesia tentu telah mengenal FPI (Front Pembela Islam) dan Hizbut Thahrir Indonesia (HTI). Telah menjadi rahasia umum bahwa FPI adalah kelompok militan dan HTI adalah kelompok fundamentalis yang berkeinginan menjadikan Indonesia bagian dari kekhalifahan Islam. Kelompok-kelompok ini menggunakan agama sebagai pembenaran atas tindakan-tindakan yang tidak beradab serta untuk melayani pihak yang menawarkan harga tertinggi. FPI dan HTI adalah kepanjangan tangan dari orang-orang yang haus kekuasaan dan uang yang menggunakan kelompok-kelompok tersebut untuk melakukan pekerjaan kotor demi memenuhi kepentingan khusus mereka.


Kini LSM-LSM lingkungan pun mulai berubah menjadi militan. Sebagaimana dikemukakan seorang jurnalis asal AS baru-baru ini, “Gerakan ‘hijau’ telah menjadi suatu keyakinan religius baru bagi kaum hippies yang menemukan bahwa ternyata mendapatkan uang itu jauh lebih menyenangkan. Akan tetapi, semangat mereka untuk mendapatkan dana dan menyebarkan kebencian telah menjadi bumerang.” Kelompok-kelompok ini menggunakan dogma “Hijau” dan “Selamatkan Lingkungan” untuk membenarkan tindakan-tindakan militan mereka. Masyarakat semakin terganggu dengan LSM-LSM yang hanya menjadi pion bagi penawar harga tertinggi atau pendonor-pendonor utama; menjadi boneka untuk melakukan pekerjaan kotor dan mengalihkan perhatian publik agar pemain-pemain sebenarnya dapat bekerja dengan tenang tanpa diganggu oleh sorotan publik. Keberadaan kelompok-kelompok LSM ini juga digunakan oleh para politisi yang populis untuk mendapatkan suara pemilih yang memiliki kepentingan yang sama.


Fenomena ini berlaku pada realita yang terjadi di Sumatera. Dengan “mengundang” seorang neo-komunis militan bernama Bambang Aswandi menjadi anggota dewan pengawas Jikalahari, sebuah anak organisasi gabungan WWF/Greenpeace/Friends of the Earth yang berbasis di Riau, LSM ini telah menjadi militan radikal. Aswandi, yang sekarang tengah berkampanye di bawah bendera partai Nasional Demokrat (NasDem) untuk memperoleh kursi legislatif di Bengkalis, tidak bekerja sendiri. Ia bekerja sama dengan istrinya Dessry Kurniawati, yang juga tengah berkampanye untuk memperoleh kursi legislatif di Riau; Made Ali, manajer grup media yang didukung oleh WWF; dan mantan narapidana Muhammad Riduan. Mereka secara rutin menyelenggarakan rapat strategis guna merumuskan aksi-aksi untuk mendesak dua raksasa industri pulp and paper, APP dan APRIL. Taktik mereka termasuk menyebarkan teror politis dan kekerasan untuk memeras kedua perusahaan.


Tak terelakkan lagi, skema ini mengakibatkan kerusakan kolateral yang berujung pada kematian seorang warga sipil. Sebagaimana dilaporkan jurnalis AS, terjadi pembunuhan berdarah dingin yang terencana terhadap seorang pekerja perkebunan bernama Charid. Pembunuhan Charid diduga dilakukan oleh Muhammad Riduan. Ketika itu, Riduan berada di bawah pengawasan Aswandi. Riduan menghadapi pengadilan atas tuduhan pembunuhan Charid, ayah dari seorang anak laki-laki. Motif pembunuhan tetap tidak jelas. Dibutuhkan waktu hingga dua tahun untuk menjalankan pengadilan dan sejauh ini Riduan hanya dibebankan pasal yang ringan karena terbatasnya ruang gerak kepolisian setempat.


Aksi-aksi tersebut bukanlah bentuk kampanye politik yang baik. Gerakan baru yang semakin militan dan mengklaim mewakili para petani di Riau ini sebenarnya beraksi atas perintah para aktivis asing yang secara aktif membuat kerusuhan dan merusak perdamaian di tengah masyarakat. Pemerintahan di bawah SBY menyatakan ‘dukungannya’ terhadap aksi-aksi LSM-LSM militan tersebut. Hal ini tentunya memberikan sinyal yang semakin mengaburkan batas antara kaum militan dan pecinta lingkungan yang sebenarnya.

Referensi

[1] "The Role of NGOs." Development Studies - The University of Dublin, Trinity College. Web. 26 July 2013.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline